Kita Belajar Bukan untuk Gelar atau Ijazah tapi untuk Hidup yang Lebih Baik.

.

Kata-kata diatas tercermin dari kehidupan seorang tokoh dunia yaitu Konosuke Matsushita. Matsushita Konosuke adalah tokoh besar dalam dunia elektrik dari jepang. Matsushita menjadi tokoh kebanggaan bangsa-bangsa di asia karena kehebatannya dalam membangun usaha mulai dari nol.
Pendidikan formalnya hanya sampai di sekolah dasar. Itupun tidak sempat diselesaikannya, hanya sampai kelas IV SD saja. Karena kemiskinan dan keterbatasan keluarganya. Namun, Matsushita tidak pernah berputus asa. Dia dengan lapang dada menerima situasi itu dan tidak bersikap iri hati kepada teman-temannya yang kaya. Meskipun mengalami banyak hambatan, ia terus belajar. Belajar baginya tidak hanya disekolah formal. Benar kata pepatah “ Kita belajar bukan untuk gelar atau ijazah. Melainkan untuk hidup.”
Berkat semangat belajarnya dia mampu menciptakan karya besar, dimulai dari fitting lampu, radio hingga kapal laut maupun pesawat terbang. Hal itu bisa dilakukan karena Matsushita terus belajar dan mampu membangun suatu tim kerja yang dapat bersinergi. Sinergi itu menghasilkan produk-produk yang berkualitas tinggi yang memenuhi kebutuhan masyarakat dan diterima oleh pasar. Hal itu dilandasi oleh pendekatan kemanusiaan yang luar biasa dari Matsushita. Para karyawan di perusahaan merasa bukan hanya sebagai “bawahan” yang hanya menanti perintah pimpinan, melainkan menjadi anggota tim bersama atasannya. Pemikiran, temuan, inisiatif, dan kerja keras karyawan menjadi tiang utama keberhasilan suatu usaha. Matsushita bukan hanya memberikan dorongan tetapi kesempatan karyawan untuk itu, sehingga karyawan dapat mengembangkan diri. Dan dengan itu, karyawan membesarkan perusahaan.

Di luar itu semua, sebenarnya ada hal lain yang lebih besar. Matsushita lebih merupakan seorang humanis besar. Dia tidak hanya memikirkan menciptakan barang, menuai keuntungan usaha untuk diri sendiri dan keluarganya tetapi untuk bangsanya. Bagaimana membangun masa depan generasi muda bangsanya, baik di negrinya sendiri maupun di negara-negara asia pada umumnya lebih cerah menjadi komitmennya. Dengan berkarya bersama, saling mendukung suatu bangsa akan mencapai kedamaian (peace), kebahagiaan (Happiness), dan kemakmuran (Prosperity).

Berikut ini beberapa kisah hidupnya dan semoga bisa menjadi inspirasi Anda :

Sejumlah pelayan sibuk berlalu lalang melayani tamu yang sedang singgah di sebuah restoran. Di salah satu meja terdapat seorang lelaki bersama rekan-rekannya sedang asyik menikmati makanan yang disajikan oleh restoran tersebut. Tak sedikit makanan yang dipesan kala itu, mengingat orang-orang yang hadir adalah para pebisnis handal yang sedang sibuk mengadakan sebuah pertemuan penting.

Menjelang akhir pertemuan, sedikit makanan masih tersisa di piring lelaki itu. Sesaat sebelum dia dan rekan-rekan bisnisnya pergi meninggalkan restoran, disempatkannya ke dapur belakang untuk menemui koki yang telah membuatkan makanan untuk disantapnya tadi bersama rekan-rekannya, suatu hal yang tak lumrah dilakukan oleh banyak orang. Kepada koki tersebut ia hanya berkata,

“Pak maaf, makanan yang Anda buat tadi bukannya tidak enak, tapi saya masih kenyang karena saya sempatkan untuk makan dulu sebelum berangkat ke sini tadi, sehingga makanan yang Anda buat dan dihidangkan untuk saya jadi tidak habis. Sekali lagi, saya mohon maaf Pak. Saya hanya tidak ingin membuat Bapak merasa sakit hati karena makanan yang Anda buat tidak saya habiskan tadi.”

Koki restoran pembuat makanan tersenyum mendengar apa yang disampaikan oleh lelaki itu, sambil berdecak kagum ternyata masih ada lelaki rendah hati yang menemuinya walau sekedar untuk meminta maaf. Bagi koki tersebut, adalah hal biasa melihat makanan yang dibuatnya tidak dihabiskan oleh pengunjung restoran karena berbagai alasan, tapi tak pernah ada yang menemui dirinya walau sekedar untuk meminta maaf seperti halnya yang dilakukan lelaki tadi.

Sungguh santun lelaki peminta maaf tersebut, di tengah kesibukannya dalam mengurus bisnis, dia sempatkan untuk menemui sang koki yang tak lebih hanya pembuat makanan sebuah restoran, sekedar untuk meminta maaf. Sebuah hal remeh yang hampir tidak pernah diperhatikan dan dilakukan oleh para pebisnis besar lainnya, bahkan oleh kita sekalipun.

Tapi siapa sangka, justru karena kesantunan dan kerendahan hatinya dalam menghargai orang lain, membuat bisnis yang dijalankannya tumbuh dan berkembang pesat hingga sekarang. Dialah pendiri National atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama Panasonic, sang pengusaha besar kelas dunia asal Jepang yang menjadi teladan bagi banyak orang. Konosuke Matsushita, sang lelaki peminta maaf tersebut.

Matsushita keluar dari perusahaan instalasi listrik tempat dia sudah bekerja selama 7 tahun. Alasannya, jabatan sebagai petugas pemeriksa yang bergaji besar dengan pekerjaan ringan justru membuatnya merasa bosan. Rekan-rekannya merasa aneh dengan sikap Matsushita itu.

Kemudian bersama 2 rekan, yaitu Hayashi dan Morita, serta 1 adik ipar yaitu Toshio, Konosuke Matsushita membuat pabrik fitting lampu pada bulan Juni 1917. Ternyata mereka belum tahu dari bahan apa adonan hitam untuk fitting tersebut. “Mungkin adonan itu terdiri dari aspal yang dicampur bubuk batu dan asbes,” pikir mereka. Setelah dicoba ternyata gagal. Maka mereka berkeliling bertanya ke pabrik lain untuk mencari tahu adonan hitam bahan fitting tersebut. Tentu saja ditolak! Diam-diam Konosuke dan Hayashi memungut pecahan adonan yang sudah mengeras dan menelitinya sendiri. Tapi semuanya itu sia-sia.

Tak lama setelah itu mereka mengetahui ada seorang kenalan Hayashi yang dulu melakukan penelitian tentang adonan hitam tersebut. Teman itu ternyata sudah tak berminat lagi membuat adonan hitam, maka dia mengajarkan semua yang pernah ditelitinya kepada Konosuke dan Hayashi. Semuanya itu membuat keduanya merasa terbang ke awan karena gembira.

Pada pertengahan Oktober tahun itu sedikit demi sedikit fitting lampu bisa diselesaikan. Sayang sekali, ketika berusaha menjual fitting tersebut ke pedagang pengecer ternyata harganya tidak bagus. Untuk 100 buah fitting lampu hanya dihargai tidak lebih dari 10 yen. Belum lagi penolakan dari banyak pedagang karena pabrik Konosuke masih baru. Setelah 10 hari menawarkan dan kurang berhasil maka pada akhir bulan Oktober kedua rekan Konosuke undur diri dari bisnis tersebut.

Bulan November tiba, Konosuke terus membuat fitting lampu dengan modal yang terus menipis. Konosuke mulai ragu. Bulan Desember pun tiba. Tetapi Konosuke belum tahu barang elektronik apa yang sebaiknya dibuatnya. “Mungkin sebaiknya aku balik lagi bekerja di Perusahaan Listrik Osaka. Tapi… nggak enak juga minta tolongnya,” pikirnya diam-diam demi kebaikan Mumeno, istrinya.

Pada suatu hari Konosuke didatangi oleh seorang pegawai perusahaan alat listrik. Orang itu meminta tolong kepada Konosuke, katanya, “Kami ingin Bapak membuat tatakan kipas angin dari adonan hitam bahan pembuat fitting.”

“Tatakan kipas angin? Apa itu?” tanya Konosuke.

Kemudian orang tersebut menceritakan tentang dudukan kipas angin tempat menaruh tombol-tombol. Dia mengeluarkan barang contoh, sebuah benda bulat dengan diameter 10 senti, tebalnya 1 senti, dan berlubang di tengahnya. Selain itu ada kira-kira 10 lubang kecil lainnya di beberapa tempat. “Seperti Bapak lihat, tatakan ini kurang baik. Karena terbuat dari porselen jadi mudah pecah. Untuk itu pabrik kipas angin Kawakita Denki ingin mencoba menggantinya dengan tatakan yang terbuat dari bahan pembuat fitting lampu. Kira-kira bagaimana Pak, apa Bapak bersedia membuatnya?”

“Kira-kira berapa banyak?” tanya Konosuke.

“Untuk percobaan, tahun ini sekitar 1000 buah. Kalau hasilnya baik, tahun depan dan tahun-tahun berikutnya bisa 20-30 ribu buah,” jawabnya lagi.

Jadi, 20-30 ribu buah pertahun? Mendengar itu Konosuke langsung menyanggupi tawaran itu. Konosuke gembira sekali.

Bulan Desember tahun itu Konosuke berhasil memenuhi pesanan 1000 tatakan dengan bayaran 160 yen. Hitung-hitung untungnya adalah 80 yen. Berbeda dengan fitting lampu, tatakan itu tidak memerlukan bahan logam, sehingga biaya produksinya lebih rendah. Pesanan tatakan kipas angin itu terus datang tanpa henti, sehingga keuntungan yang didapat Konosuke pun semakin banyak. Selanjutnya Konosuke mulai membuat ‘attachment plug’ yang digunakan untuk memasang lampu dengan mengambil listrik dari lampu lain. Kemudian Konosuke membuat fitting 2 lampu yang bagus, bahkan mendapat paten dari kreasi tersebut. Lalu fitting 3 lampu. Kemudian bikin lampu sepeda, lalu radio, dan seterusnya menjadi perusahaan pembuat barang elektronik dan peralatan listrik yang sukses.

Get the point? Bagaimana hasil akhirnya kalau Konosuke tidak belajar membuat fitting lampu? Siapkah dia dengan pesanan tatakan kipas angin itu? Mungkinkah pesanan tatakan itu datang ke dia? Memang manusia hanya bisa berusaha sebaik-baiknya, Tuhan akan menjawab dengan cara-Nya yang halus, sering dengan kesempatan dari arah yang tak disangka.

Konosuke Matsushita. Andai tak dicoba membuat fitting lampu ….

A frail, sickly bicycle apprentice who survived unspeakable childhood tragedy, Konosuke Matsushita lacked formal education, wealth, charisma, connections and even a special talent. Yet, early hardships produced hidden strengths which opened Konosuke Matsushita’s mind to the collective wisdom of others. The author reveals how a lifelong thirst for learning fueled the passion that led this humble, shy 5-foot-5-inch humanitarian idealist to pioneer management practices and advance his philosophy that the mission of a manufacturer is to relieve poverty and create wealth, not only for shareholders, but for society.

Excerpt from the book entitled “MATSUSHITA LEADERSHIP” by Dr. John P. Kotter, Professor of Leadership at the Harvard Business School.

dari berbagai sumber

http://elsabarto.wordpress.com/2011/01/16/kita-belajar-bukan-untuk-gelar-atau-ijazah-tapi-untuk-hidup-yang-lebih-baik/

0 Response to "Kita Belajar Bukan untuk Gelar atau Ijazah tapi untuk Hidup yang Lebih Baik."

Posting Komentar

Powered by Blogger