Liku-Liku Bisnis Batu Bara

Seperti bisnis pertambangan umumnya, berkecimpung di bisnis batu bara bisa dibilang gampang-gampang – susah. Dikatakan gampang karena proses penambangan batu bara memang sederhana. Hanya menggali, mengeruk, lalu mengumpulkan dan menjualnya. Akan tetapi, proses penambangan yang kedengarannya mudah itu menjadi susah, manakala pemilik usaha penambangan tak peduli lingkungan sekitarnya. Bisa juga, usaha penambangan yang sedang berjalan harus berhenti lantaran dinilai tidak feasible. Bahkan, ada yang tiba-tiba diganggu tangan-tangan jahil penambang liar di wilayah konsesi. Akibatnya, proses penambangan berjalan tersendat-sendat.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Soedjoko Tirtosoekotjo, ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam menjalankan bisnis batu bara. Pertama, memperoleh konsesi dengan mengajukan izin penyelidikan umum, eksplorasi hingga eksploitasi. Untuk konsesi dibagi menjadi dua kategori, yaitu Kontrak Karya (KK) untuk area konsesi 100 ribu hektare dan Kuasa Penambangan (KP) dengan area konsesi 10 ribu ha. KP diperuntukkan bagi warga negara Indonesia. Izinnya pun dikeluarkan bupati setempat kalau wilayah itu masih berada dalam satu kabupaten.

Namun, bila area konsesi berada di perbatasan antara dua kabupaten, izin konsesi berasal dari gubernur. Sementara itu, bila area yang dimaksud ternyata berada di perbatasan dua provinsi, izinnya akan dikeluarkan Dirjen Pertambangan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Kendati demikian, dalam praktiknya bisa saja berbeda. Soedjoko mencontohkan, kadang terjadi wilayah konsesi berada di perbatasan antara dua kabupaten. Izin yang seharusnya keluar dari gubernur, dalam kenyataannya bisa dimintakan dari dua kabupaten yang bersinggungan.

Bila area yang berpotensi itu sudah diketahui dengan pasti, pengusaha bisa mengajukan KP. Biasanya ada pengusaha yang tidak mau repot. Pemburu KP yang termasuk kategori ini akan langsung mengincar wilayah pinggiran konsesi KK yang sudah eksis. Soedjoko menyayangkan, beberapa tahap yang menjadi persyaratan umum pertambangan saat ini bisa dengan gampang dilalui dalam waktu singkat. Bahkan, kabarnya cukup mengeluarkan dana Rp 300-500 juta untuk area konsesi seluas 10 ribu ha.

Menurut Soedjoko, saat ini tak mudah lagi mendapatkan area konsesi yang potensial di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mengingat di kedua wilayah itu sudah terlalu banyak pemain yang beroperasi. Kalaupun ada, nilai kalori batu baranya tergolong rendah. Di luar KK dan KP, konsultan pertambangan Andre Alis menambahkan, ada pula penguasaan pertambangan yang dilakukan koperasi unit desa (KUD). Hanya saja, dikatakan Andre, untuk pola KUD makin sedikit pemainnya.

Masih berhubungan dengan konsesi, Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Simon Fellix Sembiring mengeluhkan pemberlakuan otonomi daerah terhadap sektor pertambangan batu bara. Menurutnya, sebelum diberlakukan otonomi daerah, semua perizinan diurus di pusat. Bila sudah beres di pusat, barulah diserahkan ke daerah. Simon menilai, cara yang sekarang — perizinan diserahkan ke daerah — memberi celah negatif. Pertama, kabupaten-kabupaten di daerah penghasil batu bara, seperti di Kal-Sel dan Kal-Tim, sangat mengandalkan Pendapatan Asli Daerah sehingga izinnya sekalian saja dijual.

Kedua, izin atau kontrak yang sebelumnya telah ada kadang tidak dipedulikan. “Kadang, pemohon izin KP diberi izin di lahan yang sudah ada pemegang hak penambangan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara),” katanya mengungkap fakta yang terjadi di daerah. Permasalahan ketiga, munculnya penambang aspal — asli tapi palsu. Dikatakannya, penambang jenis ini minta izin menambang di satu tempat, tapi justru yang ditambang di tempat lain. Karena itu, Simon berkesimpulan, 50% produksi batu bara di Kal-Sel adalah hasil penambangan liar.

Mengurus perizinan, diakui Direktur Pemasaran PT Bumi Resources Tbk. Iman Arif, memang sulit. “Selama ini kami mengacu pada PKP2B dari pemerintah pusat,” katanya. Ia mencontohkan, Arutmin memiliki izin mengeksplorasi batu bara berdasarkan PKP2B hingga 2019 dengan luas area 70.153,25 ha di Kal-Sel. Namun, dalam pelaksanaannya, meskipun Arutmin sudah punya izin seperti yang tertuang dalam PKP2B, terkadang sering terjadi tumpang tindih lahan dengan penambang lain yang memperoleh izin dari bupati setempat lewat izin KP ataupun penambang ilegal.

Di samping masalah perizinan yang lumayan berbelit-belit, untuk sampai pada tahap eksplorasi pun dibutuhkan waktu tahunan. Andre menjelaskan, setelah tahap penyelidikan umum (menemukan tanda-tanda adanya kandungan batu bara di suatu wilayah), dilanjutkan dengan tahap sebelum studi kelayakan. “Tahapan ini yang menentukan apakah pengusaha akan melanjutkan proyeknya atau tidak. Yang menjadi pertimbangan, antara lain, biaya operasi, harga jual, dan segala hal yang menyangkut pertimbangan ekonomis,” ujarnya. Setelah itu, baru bisa dihitung ongkos kasarnya dan dibuat model ekonominya. “Dari situ kami bisa lihat apakah akan menguntungkan atau tidak.”

Tahap selanjutnya adalah pencarian data (eksplorasi). Tahapan ini bertujuan menemukan data yang lebih terinci sehingga bisa menemukan bentuk tiga dimensi dari model batu baranya. Tahapan ini cukup lama, membutuhkan waktu 1-2 tahun. “Model tiga dimensi membantu kami merencanakan penambangan. Kami jadi tahu penyebarannya, panjang, lebar, serta kedalamannya,” kata pria yang sudah malang-melintang di industri batu bara sejak 1988 ini.

Bila tahap eksplorasi memuaskan, barulah masuk ke tahapan studi kelayakan. Di sini, ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan hidup. Bila hasilnya feasible, berarti proyek dilanjutkan, Namun jika tidak, proyek dengan sendirinya dihentikan. “Habislah semua uang yang ditanamkan hingga ke tahap eksplorasi,” ujar Andre mengomentari bila proyek yang dijalankan ternyata dinilai tidak feasible.

Apakah lahan tambang yang diincar mengandung batu bara yang baik atau tidak, menurut Andre, bisa diketahui melalui GPS. Cara sederhana untuk mengetahuinya, dengan melihat singkapan batu bara yang ditemukan. Yang dimaksud singkapan adalah batu bara yang tersingkap dari dalam lapisan tanah karena proses erosi sungai. “Biasanya kami diberi kesempatan oleh Dinas Pertambangan dengan menggunakan surat izin peninjauan,” katanya. Sayangnya, ia melanjutkan, dengan metode ini masih belum dapat diketahui pola tiga dimensi batu baranya.

Bila di kemudian hari ternyata ada pengusaha tambang yang jeblok setelah jauh melangkah, Andre menilai hal itu lantaran ada perhitungan yang tidak pas ketika memulainya. Bahkan, ia berani mengatakan, dari tahap penyelidikan umum hingga studi kelayakan adalah masa-masa gambling. Padahal, selama tahapan itu berlangsung, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Sekadar gambaran, untuk lahan seluas 40 ribu ha, kemudian setelah studi kelayakan diciutkan menjadi 20 ribu ha dengan kondisi geologi cukup rumit, perusahaan bisa mengeluarkan investasi hingga US$ 10 juta. “Itu belum termasuk biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur dan peralatan tambang,” katanya menambahkan.

Mengingat tingkat risiko dan kesulitan yang dihadapi hingga tahap studi kelayakan, sebagian pengusaha memilih cara kedua, yakni joint venture dengan pemilik konsesi yang sudah ada. “Bisa dengan membentuk perusahaan baru atau investasi modal,” kata Soedjoko menimpali. Cara lainnya, bisa ditempuh dengan mengakuisisi perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi, seperti dilakukan perusahaan pertambangan Thailand, Banpu, yang membeli 6 perusahaan tambang di Indonesia dengan total senilai US$ 80 juta. Tentu saja, nilai jual perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi dan produksi jauh lebih mahal daripada masih berupa KK atau KP eksplorasi.

Langkah akuisisi inilah yang dipilih Bumi Resources ketika masuk ke bisnis pertambangan. Menurut Iman, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika akan mengakuisisi perusahaan pertambangan. Hitung-hitungannya dimulai dari proses due diligence, baik secara fisik maupun nilai buku. Seperti saat membeli PT Kaltim Prima Coal, hingga keluar angka US$ 500 juta, komponen perhitungannya adalah nilai buku, cadangan batu bara yang terkandung di dalamnya, tingkat risiko dan harga pasar batu bara (market value). Umpamanya, di lahan perusahaan yang akan dibeli ada cadangan 100 juta ton batu bara, lalu dilihat lagi kualitas batu baranya seperti apa. Kemudian, tinggal dikalikan saja dengan market value ditambah forecast value untuk 10 tahun mendatang. Selain itu, perlu juga dihitung royalty fee untuk pemerintah berupa pajak sebesar 13,5% dari omset serta fee untuk kegiatan sosial (social cost).

Untuk menentukan hal tersebut, lanjut Iman, Bumi akan melakukan penelitian yang mendalam sebelum mengakusisi perusahaan yang diincarnya itu. “Kami juga harus mencari second opinion dari pihak asing yang menjadi investor di Bumi. Kira-kira, perusahaan yang akan diakuisisi itu feasible atau nggak,” ungkap Iman menjelaskan. Investasi untuk praktik pertambangan yang baik dengan produksi batu bara sebanyak 2 juta ton/tahun diperkirakan US$ 200 juta. Nilai itu juga tergantung pada infrastruktur yang dibangun. “Masih bisa lebih murah bila bekerja sama dengan kontraktor pertambangan karena prasarana produksi bisa di-outsource,” tuturnya.

Selama ini, Bumi memilih mengakuisi perusahaan yang telah beroperasi karena sudah kelihatan produktivitasnya. “Seperti ketika mengakuisisi Kaltim Prima Coal pada 2003 dari BP dan Rio Tinto, serta PT Arutmin Indonesia pada 2001 dari BHP Billiton,” kata Iman mencontohkan. Kecuali, untuk kasus pembelian konsesi Pendopo di Sumatera yang kini dimililiki Bumi, tapi lahannya belum digarap. Konsesi di Pendopo rencananya akan dikembangkan untuk batu bara cair. “Untuk Pendopo, kami tinggal gali dan bangun infrastrukturnya.”

Selain melalui KK, KP, joint venture dan akuisisi, berbisnis batu bara juga bisa dilakukan dengan joint operation. Maksudnya, seperti dijelaskan Soedjoko, operasi penambangan akan diserahkan untuk dikelola perusahaan lain. Di lain pihak, pemilik konsesi mendapat margin dari tiap ton batu bara yang ditambang sesuai dengan kesepakatan. Pemodal yang mengoperasikan pertambangan jenis ini dikenal sebagai kontraktor pertambangan. Contoh joint operation di Indonesia adalah PT Adaro, yang memiliki empat perusahaan kontraktor yang menambang di konsesinya. Kendati demikian, biaya transportasi dan tanggung jawab sosial maupun lingkungan dipikul Adaro.

Untuk terlibat dalam bisnis batu bara, juga dimungkinkan dengan menjadi pedagang (trader), yang menghubungkan pihak pembeli dengan produsen. Persyaratannya, ada kepercayaan dari kedua belah pihak. Konvensi tahunan CoalTrans awal Juni lalu di Bali merupakan event penting bagi para pebisnis batu bara se-Asia, yang bukan hanya diikuti produsen, trader dan perusahaan kontraktor pertambangan, tapi juga pembeli. Konvensi ini diikuti 800-an peserta dari 33 negara.

Pembeli utama batu bara Indonesia selama ini adalah perusahaan pembangkit listrik di Asia Pasifik, terutama Jepang, Hong Kong dan Taiwan. Berbicara mengenai prospek batu bara di Indonesia, Djoko menilai, masih menjanjikan. “Jumlah pemegang kontrak karya di Indonesia baru 78 perusahaan, yang sudah produksi 28 perusahaan, 50 lainnya belum berproduksi. Saya dengar 6 perusahaan sudah masuk tahap produksi,” ujarnya. Dengan adanya rencana PLN memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik, peluang industri ini di masa depan makin bersinar. “Demand-nya masih tinggi, apalagi kebutuhan energi juga tidak bakal surut,” ujar Djoko tandas.

Berburu Rupiah di Padang Batu Bara

SEJAK 2006 hingga kini mereka masih MEMBURU BATU BARA< apa hasilnya bagi LINGKUNGAN ?????????????

Batu bara? Sepuluh atau 15 tahun lalu, jangankan terjun di bisnis ini, sekadar menyebut kata “batu bara” pun Anda mungkin malu. Selain takut dicap sebagai manusia kuno, apa yang bisa diharapkan dari komoditas masa lalu itu? Yang tercetak di otak kita hanyalah kenangan lama: guru SD kita mengajarkan bahwa salah satu tempat di Sumatera Selatan, Ombilin namanya, menghasilkan batu bara. Dan kita pun merasa tak perlu tahu bagaimana rupa komoditas itu karena dinilai tak terlalu penting.

Kita baru tersentak ketika Grup Bakrie meraup untung luar biasa besar dari bisnis batu bara. Seperti banyak diberitakan, Maret lalu, PT Bumi Resources Tbk. milik Grup Bakrie menjual seluruh kepemilikan sahamnya di dua anak perusahaannya, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin, senilai US$ 3 miliar lebih kepada konsorsium yang terdiri atas Marubeni (Jepang), Renaisance Capital (lokal) dan sejumlah bank. Yang membuat banyak orang geleng-geleng, dua tahun lalu Grup Bakrie cuma mengucurkan dana US$ 500 juta untuk mengakuisisi PT Kaltim Prima Coal — perusahaan tambang batu bara terbesar di Kalimantan Timur.

Aksi Grup Bakrie memang contoh paling mencolok betapa batu bara — sumber energi yang selama bartahun-tahun diremehkan itu — ternyata masih menyimpan energi yang dahsyat. Selain pelaku besar seperti Grup Bakrie, banyak pelaku kelas menengah dan kecil yang ikut menangguk untung besar dari maraknya bisnis batu bara akhir-akhir ini. Bahkan, di titik ekstrem yang lain, ada orang lokal di dekat daerah penambangan nun di Kalimantan sana, yang tadinya cuma membuka usaha fotokopi, belakangan bermetamorfosis menjadi trader batu bara dengan keuntungan mencapai ratusan juta rupiah per bulan.

Sekali lagi, ada apa di batu bara? Mungkin seperti warnanya yang hitam pekat, batu bara — yang proses terbentuknya memakan waktu lebih dari 300 juta tahun di bawah permukaan tanah — memang menyimpan banyak misteri. Ketika minyak dan gas belum ditemukan, batu bara menjadi primadona kalangan industrialis. Penggunaan batu bara secara ekstensif terekam selama Revolusi Industri pada abad ke-18 dan 19. Penemuan mesin uap oleh James Watt, yang kemudian dipatenkan pada 1769, berpengaruh besar dan langsung terhadap peningkatan penggunakan batu bara. Sejak saat itu, penambangan dan pemanfaatan batu bara meningkat pesat, yang pada masa itu sangat dibutuhkan untuk proses produksi besi baja, transportasi kapal uap dan kereta api.

Pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi primer mulai menurun seiring dengan meningkatnya pemanfaatan minyak dan gas. Puncaknya terjadi pada 1960 ketika minyak berada di posisi teratas sebagai sumber energi primer, menggeser posisi batu bara. Namun, ini bukan berarti peran batu bara sebagai energi primer tergusur sama sekali. Kisah berbalik lagi ketika terjadi krisis minyak pada 1973, yang telah menyadarkan banyak orang bahwa ketergantungan yang berlebihan pada satu jenis energi primer, yakni minyak, ternyata sangat menyulitkan kontinuitas pasokan energi. Keadaan semakin runyam dengan parahnya kondisi keamanan negara-negara di Timur Tengah sebagai produsen minyak terbesar dunia, yang akhirnya berpengaruh langsung terhadap stabilitas pasokan ataupun harganya yang sering sangat fluktuatif.

Perkembangan itulah yang mendorong para industrialis di banyak negara kembali berpaling kepada batu bara sebagai alternatif sumber energi primer. Apalagi, ditambah sejumlah keunggulan lainnya yang menjadi karakteristik utama batu bara: cadangannya sangat banyak dan tersebar luas di berbagai negara, dapat dibeli dari banyak sumber di pasar dunia dengan pasokan yang stabil, harganya lebih murah dibandingkan dengan minyak dan gas, aman disimpan dan ditransportasikan, teknologi pembangkit listrik tenaga uap batu bara telah teruji keandalannya, serta mutunya tak banyak dipengaruhi cuaca (baik hujan maupun panas).

Indonesia, sebagai salah satu negara yang menyimpan cadangan batu bara yang besar, juga tak mau menyia-nyiakan tren global tersebut. Apalagi, di dalam negeri sendiri, krisis energi mulai menyergap dengan semakin menipisnya cadangan minyak dan gas bumi yang diperkirakan bakal habis kurang-lebih 18 tahun lagi. Pemerintah tak punya alternatif lain selain menyesuaikan harga minyak dengan harga pasar dunia, sehingga harga minyak pun melonjak sampai 100% sejak Oktober 2004.

Keadaan itu pula yang mendorong para pelaku industri negeri ini berpaling ke batu bara sebagai alternatif sumber energi primer, menggantikan minyak yang harganya kian tak terjangkau dan tidak ekonomis lagi. Salah satu sektor yang membutuhkan cukup banyak batu bara adalah kelistrikan. Perusahaan Listrik Negara merupakan pasar yang sangat besar bagi para pemain batu bara, khususnya PLTU. Bahkan, proyeksi kebutuhan batu bara bagi sektor listrik nasional yang telah disusun PLN hingga tahun 2025 yang mencapai 200 juta ton, ternyata jauh lebih tinggi dari proyeksi yang dibuat Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia sebesar 103 juta ton.

Saat ini, produksi batu bara secara nasional sekitar 110 juta ton/tahun, dengan rincian 30% diserap pasar dalam negeri, sedangkan sisanya yang 70% diekspor. Sementara itu, Indonesia masih menyimpan cadangan batu bara yang lumayan besar, yakni sekitar 39 miliar ton: 70% merupakan batu bara muda dan 30% batu bara bermutu tinggi. Artinya, kalaulah produksi batu bara nasional mau digenjot habis-habisan hingga 400 juta ton per tahun sekalipun, kita masih punya cadangan batu bara hingga sekitar 100 tahun ke depan. Hebat, kan?

Apalagi, perkembangan teknologi mutakhir membuktikan, batu bara cair (coal liquefaction) sangat potensial dijadikan sumber energi pengganti bahan bakar minyak. Menurut temuan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, selain memiliki mutu yang sama dengan BBM, sumber energi alternatif yang diolah dari batu bara muda itu juga sangat efisien dan ramah lingkungan, serta harganya lebih murah daripada harga BBM konvensional.

Nah, lagi-lagi yang perlu dipertanyakan, sejauh mana anugerah yang berlimpah-ruah dari Tuhan atas bangsa Indonesia ini mampu dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyatnya. Kita perlu prihatin, di tengah maraknya bisnis batu bara belakangan ini, tak kalah maraknya pula berita-berita tidak sedap yang menyertainya. Misalnya, merebaknya para penambang tanpa izin (disingkat peti — bahasa halus untuk gerombolan penambang liar) yang beroperasi tanpa sedikit pun peduli pada nasib rakyat di sekitar lokasi penambangan, apalagi terhadap kelestarian lingkungan. Laporan dari lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan menyebutkan, sepak terjang para peti tersebut tak tersentuh hukum karena berkolusi dengan pejabat daerah dan dibeking yayasan-yayasan milik TNI-Polri.

Kita tentu mendambakan, potensi besar yang tersimpan di balik emas hitam Indonesia ini mampu dikelola dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai hanya menguntungkan sekelompok kecil pengusaha hit and run (tentu juga penguasanya) yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyak dan secepat-cepatnya, tanpa tanggung jawab sosial dan moral sebagai warga negara — seperti yang pernah menimpa kekayaan alam Indonesia lainnya, misalnya hutan tropis kita yang kini hancur, sementara para pelakunya hidup bergelimang harta dan menjadi warga kehormatan di berbagai negara lain.

Daerah-Daerah Bergelimang Rezeki Batu Bara

Suatu malam di Hotel Istana Barito. Agus Adrianto, 35 tahun, tampak sibuk sekali. Ditemani seseorang yang bertampang India yang disebutnya pakar batu bara, waktunya di hotel yang berlokasi di Jl. M.T. Haryono 16, Banjarmasin itu dihabiskan dari satu pertemuan ke pertemuan lain. Rupanya, sebagai manajer pengembangan bisnis sebuah grup bisnis besar di Jakarta, ia sedang ditugaskan mencari lahan tambang batu bara oleh bosnya. Maklum, manajemen grupnya sudah memutuskan masuk ke bisnis emas hitam ini. Tak mengherankan, bulan lalu, selama seminggu penuh Agus menginap di hotel bintang tiga di Banjarmasin yang punya 150 kamar itu. Di kota ini, ia sibuk mencari peluang masuk ke bisnis ini — misalnya lewat akuisisi konsesi tambang milik pengusaha daerah.

Namun, ternyata yang melakukan hal tersebut bukan Agus seorang. Pertama menyaksikannya, ia sampai geleng-geleng. Tiap ia melakukan pertemuan, entah itu di lobi hotel atau di salah satu resto di hotel tersebut, selalu saja ada kelompok lain yang juga mendiskusikan bisnis batu bara atau tengah bertransaksi. Jelas terdengar, beberapa di antara mereka sedang mencari konsesi yang mau dijual atau mencari penambang lokal yang bersedia menjadi pemasok. Alhasil, seminggu di Banjarmasin belum membawa hasil memuaskan buat Agus. Sampai ia kembali ke Jakarta, tak ada satu deal pun yang pasti. Maklum, ia harus bersaing ketat dengan pembeli dan investor lain yang sangat antusias pula memburu tambang emas hitam ini.

Komoditas batu bara belakangan ini memang jadi buruan yang hot. Banyak sekali kelompok usaha besar di Tanah Air yang melirik dan tertarik mengembangkan bisnis emas hitam ini. Mereka kini berburu konsesi atau mitra pemilik konsesi yang bisa diajak eksplorasi bersama. Sementara para pemain lama yang sudah memiliki konsesi dan melakukan eksploitasi (menambang), belakangan makin agresif meningkatkan kapasitas produksinya dengan membuka lahan baru dan mendatangkan sejumlah peralatan berat baru. Maklum, harga batu bara di pasar internasional makin bagus, seiring dengan terus meningkatnya permintaan, khususnya dari India, Korea dan Cina. Tak mengherankan, saat ini transaksi di seputar bisnis batu bara makin riuh. Ada yang melakukan jual-beli, tapi banyak pula yang tawar-menawar konsesi/ perizinan penambangannya.

Tak pelak, naiknya pamor komoditas ini ikut menghidupkan daerah- daerah yang punya potensi batu bara besar. Dua provinsi yang bisa disebut tengah menikmati bonanza batu bara adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tak percaya? Sesekali sebaiknya Anda mengunjungi hotel-hotel utama di kota-kota di dua provinsi tersebut yang di wilayahnya banyak terdapat tambang batu bara, niscaya Anda akan mendengar pembicaraan yang hangat dan riuh soal emas hitam itu.

Paling gampang, coba sesekali sempatkan nongkrong di kafe atau lobi Hotel Banjarmasin International (HBI) di Jl. Jend. Ahmad Yani, Banjarmasin, Kal-Sel. “Seperti lantai bursa saja,” komentar H. Imam Abror Has, pemilik PT AAAM yang bergerak di bisnis batu bara. Di hotel itu, dari pagi hingga pukul 12 malam selalu ada saja orang-orang yang tengah bertransaksi batu bara. Wartawan SWA Eddy Dwinanto Iskandar, yang juga sempat menginap di HBI belum lama ini, mengaku merasakan hawa gairah bisnis batu bara di kota ini.

Memang, mereka yang bertransaksi tak semuanya pemilik konsesi tambang. Bahkan, kebanyakan para pedagang (trader) atau broker batu bara. Sampai-sampai sebagian pelaku bisnis batu bara sering memelesetkan hotel ini menjadi “Hotel Broker International”. Pokoknya, kalau mengunjungi hotel itu, kata-kata seperti high calorie, stock pile, hauling, crushing, mine site, sulphur rate, koordinat, GPS, hingga kuasa penambangan, akan jamak terdengar.

Ada yang datang ke hotel sekadar membawa map dan sebungkus rokok, tapi ada juga yang datang dengan membawa tentengan plastik berisi sampel bongkahan-bongkahan batu bara. Rata-rata yang datang berpakaian kasual. Mereka datang dengan mengendarai mobil yang ground clearance-nya tinggi, seperti Toyota Hilux, Isuzu D-Max, Toyota LandCruiser atau Mitsubishi Strada.

Ternyata, berdasarkan pengamatan SWA, euforia bisnis batu bara seperti itu tak hanya tampak di HBI, tapi juga di hotel-hotel besar lain di Banjarmasin seperti Hotel Victoria, Hotel Arum dan Eva Guest House. Biasanya HBI lebih banyak dipakai untuk sosialisasi, sementara transaksi dilakukan di hotel lain.

Solihin, seorang trader batu bara yang erat bergaul dengan para pemilik tambang, menjelaskan bahwa pemilik tambang biasanya memilih Eva Guest House atau Hotel Arum lantaran lebih tenang dan untuk menjaga citra. “Pemilik tambang sebagian kan pak haji, nggak enak kalau ke HBI, yang penuh ingar-bingar diskotek dan karaoke,” ujarnya santai. Di Kal-Sel, selain di Banjarmasin, kita juga bisa melihat gairah bisnis batu bara di beberapa kota lain, seperti Kintab, Batu Licin, Banjar, Tanah Laut dan Tabalong. Di Batu Licin, misalnya, denyut bisnis batu bara benar-benar amat terasa, meski kabarnya juga banyak dikendalikan “mafia”. “Wah kalau di sana, banyak pak haji yang kaya raya, yang pakai sarung tapi punya banyak mobil mewah. Bahkan, banyak yang punya mobil Jaguar. Ada juga yang pakai Roll Royce, Mas,” ujar seorang pengusaha muda asal Jakarta yang tak mau disebut namanya, yang juga memiliki konsesi tambang batu bara seluas lebih dari10 ribu hektare di Kal-Sel.

Di Kal-Tim, kondisinya setali tiga uang. Sesekali sempatkan Anda nongkrong di hotel-hotel besar di Samarinda dan Balikpapan. Di sana, tema diskusi yang banyak terdengar di berbagai resto dan lobi hotel tak jauh pula dari soal batu bara. Sebenarnya, hal ini mudah diamati ketika sampai di Bandara Sepinggan, Balikpapan. “Di sudut-sudut ruang Bandara, hal biasa kalau ada 2-3 orang terlibat diskusi serius dengan menggelar dan mengerubungi peta tambang,” ujar Agung, chief geologist sebuah perusahaan besar di Jakarta yang kini juga mulai masuk ke bisnis batu bara. Di Kal-Tim, kota/kabupaten yang banyak menyedot investasi batu bara ialah Kutai Kertanegara, Berau, Pasir, Penajam dan Kutai Timur.

Belakangan ini kalangan investor baru memang lebih memilih investasi ke Kal-Tim ketimbang Kal-Sel. Alasannya, di Kal-Sel, pemainnya sudah terlalu ramai. Faktor sosialnya pun semakin kompleks dan lebih sulit dikendalikan ketimbang di Kal-Tim. Selain itu, rata-rata kualitas dan tingkat kalori batu bara di Kal-Tim juga lebih bagus ketimbang di Kal-Sel. Batu bara di Kal-Tim punya kandungan kalori yang tinggi.

Betapapun, makin maraknya bisnis batu bara jelas menjadi berkah tersendiri buat masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Apalagi setelah adanya era otonomi daerah, setidaknya bisa menjadi pos pendapatan baru yang bisa menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Contohnya saja, dalam kasus PT Kaltim Prima Coal (KPC). Sejak otonomi daerah diresmikan, kabarnya 80% pendapatan (dari royalti dan pajak pendapatan) KPC masuk ke kas pemda. Pemda mendapat penghasilan US$ 300 ribu lebih per hari — dari 13,5% royalti terhadap nilai jual batu bara dan 35% pajak pendapatan — dari produksi harian yang mencapai di atas 50 ribu ton kubik batu bara kualitas tinggi. Tak aneh, awalnya pemerintah pusat sempat tidak rela karena pendapatan yang demikian besar masuk ke kas pemda.

Di Kabupaten Balangan, Kal-Sel, tempat PT Adaro beroperasi, juga demikian. Kabupaten ini pun mendapat berkah dari batu bara. Tahun 2005 (hingga Oktober), Kab. Balangan telah menerima royalti batu bara sebesar Rp 15,7 miliar. Uang itu sama dengan 13,5% dari dana yang disetor Adaro ke pemerintah pusat. Itu saja Pemda masih mengusahakan agar persentase pengembalian ke daerah lebih besar.

Lain lagi di Berau, Kal-Tim, yang banyak pula terdapat perusahaan tambang batu bara, termasuk PT Berau Coal. Nah, di kabupaten ini sekarang sektor batu bara hampir mengalahkan sektor pertanian, dilihat kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi sektor pertanian 22,59%, sedangkan batu bara 20,33%. Artinya, sektor batu bara benar-benar telah menjadi andalan baru. PDRB Berau saat ini di atas Rp 220 miliar/tahun. Di lain tempat, Kutai Kertanegara juga menjadi salah satu kabupaten paling kaya se-Indonesia, hingga bisa membangun berbagai proyek mercusuar berkat topangan industri batu bara.

Di Kabupaten Banjar, Kal-Sel, kontribusi komoditas batu bara pun amat berperan. Seperti dikatakan Gusti Khairul Saleh, Bupati Kab. Banjar, berkat hasil bumi, termasuk batu bara, pihaknya kini dapat menggratiskan beberapa layanan di daerah. Antara lain, biaya pengobatan di puskesmas, biaya pendidikan SD dan SMP dengan ditunjang pula oleh dana Bantuan Operasional Sekolah serta, sejak 1 Juli 2006, biaya pengurusan KTP dan Kartu Keluarga bagi seluruh warga. Selain itu, mulai Agustus 2006 untuk setiap warga Kab. Banjar yang meninggal, tidak pandang status ekonominya, keluarganya akan mendapat santunan Rp 500 ribu. Sementara untuk biaya pendidikan, akan dialokasikan Rp 8 miliar/tahun.

Sejak menjabat sebagai bupati Agustus 2005, Gusti, putra Tabalong kelahiran 5 Januari 1964, berniat meningkatkan PAD Kab. Banjar, dari Rp 12 miliar menjadi Rp 28 miliar. Caranya? “Saya kumpulkan sekitar 20 pemilik KP (Kuasa Penambangan) di wilayah Kabupaten Banjar. Di hadapan mereka, saya ceritakan kondisi PAD kami,” ujarnya. Di hadapan para pengusaha batu bara itu, Gusti menguraikan minimnya kontribusi perusahaan batu bara yang hanya Rp 2 miliar/tahun. Sementara permasalahan yang ditanganinya justru meningkat, menyangkut polusi debu, jalanan berlubang, dan sebagainya. “Saya memohon dengan ikhlas sumbangan dari pengusaha sebesar Rp 2.000 per ton batu bara yang diproduksi. Saya estimasi, dari 7,5 juta ton batu bara yang dihasilkan dari wilayah Kabupaten Banjar per tahun maka didapat Rp 15 miliar/tahun. Dan ditambah dengan Dana Alokasi Umum serta dana-dana dari pemerintah pusat lainnya, akan didapat dana total Rp 28 miliar,” katanya panjang lebar.

Tentu saja, yang digambarkan tadi baru manfaat yang tampak secara formal. Kenyataannya, bisnis batu bara juga memunculkan sektor informal dan bahkan ilegal. Bukan rahasia lagi, di sana banyak pengusaha kaya yang sebenarnya tidak punya KP, tapi tetap menambang. Mereka punya setidaknya 20-30 truk pengangkut. Bahkan, ada yang memiliki ratusan truk. Mereka juga pengusaha kaya meski tidak melakukan usahanya sesuai dengan prosedur legal, sehingga sering disebut penambang tanpa ijin (peti).

Hanya saja, kalau melihat duduk persoalannya, munculnya peti ini mungkin wujud dari protes orang daerah terhadap pemerintah pusat. Pasalnya, di zaman Orde Baru, begitu alasan yang diberikan para pengusaha yang disebut peti itu, lahan dengan potensi batu bara di daerah mereka tiba-tiba dikapling oleh pemerintah pusat dan diberikan ke pengusaha di Jakarta yang dekat dengan kekuasaan. Banyak dari mereka yang terpaksa gigit jari, padahal kekayaan alam berharga itu ada di “halaman rumah” mereka sendiri. Tak mengherankan, menambang tanpa izin sering menjadi solusi pintas bagi mereka. Tanpa itu, mereka merasa tak akan pernah menikmati konsesi karena tak dekat dengan pusat kekuasaan dan tak punya uang untuk menyuap. Yang pasti, perputaran ekonomi batu bara yang dituding tak resmi (underground economy) ini diperkirakan juga sangat besar. Seorang praktisi menyebutkan, angkanya bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Ini memang angka perkiraan saja.

Toh, harus diakui, lantaran peti tak beroperasi secara legal dan sulit dikontrol, potensi perusakan lingkungannya juga lebih besar. Apalagi, rata-rata mereka tak punya program untuk reklamasi atau penghutanan kembali lahan. Ini berbeda dari perusahaan tambang besar dan modern yang biasanya telah menyiapkan pengembangan lingkungannya. Hal ini pun diakui Gusti selaku kepala daerah di Kab. Banjar. Menurutnya, sebagian wilayahnya memang rusak akibat penambangan liar. Namun sejak setahun lalu, penambang liar yang menggunakan alat berat nyaris tak tersisa. Kini yang ada hanyalah penambang liar tradisional yang mengambil batu bara menggunakan gancu (semacam linggis). “Tidak bisa dimungkiri, sebagian wilayah kami rusak akibat penambang liar yang tidak bertanggung jawab. Akan kami benahi,” ujarnya tegas.

Namun, diakui Sukardi, Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kal-Sel, bukan soal mudah menindak penambang liar. Ia mengaku pihaknya sering menegur atau memarahi pelaku, tapi tidak bisa menindak. “Istilahnya, mau motong rumput tidak punya pisau. Mau ikut membenahi bagaimana, wong kami tidak punya kewenangan,” ujarnya. Masalah lain, menurut Sukardi, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten, tapi tidak dibarengi penyiapan sumber daya manusia. Akibatnya sekarang, bisa dibilang penambangan di daerah kacau-balau. “Ya, kami tidak diberi parang sih untuk membereskannya,” katanya lagi. Ia mengungkapkan, semua pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang eksis, pada 2001 ke atas menjadi kewenangan pusat untuk menegur, sedangkan pemilik KP menjadi kewenangan bupati.

Ke depan, bisnis batu bara nampaknya masih terus menggeliat di Tanah Air. Sejauh ini wilayah yang dieksploitasi baru Kal-Tim dan Kal-Sel. Padahal, para ahli geologi berpendapat, di Indonesia masih banyak potensi batu bara, baik di Sumatera maupun Papua. Di Sumatera, misalnya, wilayah Riau, Begkulu dan Sumatera Barat kabarnya juga menyimpan miliaran metrik ton batu bara. Hanya saja, sejauh ini belum dieksplorasi karena wilayahnya termasuk sulit dijangkau transportasi. Di Papua, kondisinya juga demikian. Kandungan emas hitam di Bumi Cendrawasih itu diperhitungkan amat besar.

Bahkan, di Tanah Borneo, kabarnya potensi Kalimantan Tengah tak kalah dari Kal-Tim dan Kal-Sel. Para ahli menyebut kalorinya (kualitasnya) malah lebih tinggi. Sejauh ini tambang di Kal-Teng belum banyak digarap karena akses transportasinya lebih ke pedalaman. Namun, bila wilayah potensial batu bara di Kal-Teng dan di pulau-pulau selain Kalimantan sudah dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, diperkirakan bisnis batu bara makin ramai. Kota dan daerah yang bisa menikmati bonanza emas hitam pun bakal bertambah. Tinggal bagaimana pemerintah setempat bisa memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat.
Powered by Blogger