Daerah-Daerah Bergelimang Rezeki Batu Bara
Suatu malam di Hotel Istana Barito. Agus Adrianto, 35 tahun, tampak sibuk sekali. Ditemani seseorang yang bertampang India yang disebutnya pakar batu bara, waktunya di hotel yang berlokasi di Jl. M.T. Haryono 16, Banjarmasin itu dihabiskan dari satu pertemuan ke pertemuan lain. Rupanya, sebagai manajer pengembangan bisnis sebuah grup bisnis besar di Jakarta, ia sedang ditugaskan mencari lahan tambang batu bara oleh bosnya. Maklum, manajemen grupnya sudah memutuskan masuk ke bisnis emas hitam ini. Tak mengherankan, bulan lalu, selama seminggu penuh Agus menginap di hotel bintang tiga di Banjarmasin yang punya 150 kamar itu. Di kota ini, ia sibuk mencari peluang masuk ke bisnis ini  misalnya lewat akuisisi konsesi tambang milik pengusaha daerah.
Namun, ternyata yang melakukan hal tersebut bukan Agus seorang. Pertama menyaksikannya, ia sampai geleng-geleng. Tiap ia melakukan pertemuan, entah itu di lobi hotel atau di salah satu resto di hotel tersebut, selalu saja ada kelompok lain yang juga mendiskusikan bisnis batu bara atau tengah bertransaksi. Jelas terdengar, beberapa di antara mereka sedang mencari konsesi yang mau dijual atau mencari penambang lokal yang bersedia menjadi pemasok. Alhasil, seminggu di Banjarmasin belum membawa hasil memuaskan buat Agus. Sampai ia kembali ke Jakarta, tak ada satu deal pun yang pasti. Maklum, ia harus bersaing ketat dengan pembeli dan investor lain yang sangat antusias pula memburu tambang emas hitam ini.
Komoditas batu bara belakangan ini memang jadi buruan yang hot. Banyak sekali kelompok usaha besar di Tanah Air yang melirik dan tertarik mengembangkan bisnis emas hitam ini. Mereka kini berburu konsesi atau mitra pemilik konsesi yang bisa diajak eksplorasi bersama. Sementara para pemain lama yang sudah memiliki konsesi dan melakukan eksploitasi (menambang), belakangan makin agresif meningkatkan kapasitas produksinya dengan membuka lahan baru dan mendatangkan sejumlah peralatan berat baru. Maklum, harga batu bara di pasar internasional makin bagus, seiring dengan terus meningkatnya permintaan, khususnya dari India, Korea dan Cina. Tak mengherankan, saat ini transaksi di seputar bisnis batu bara makin riuh. Ada yang melakukan jual-beli, tapi banyak pula yang tawar-menawar konsesi/ perizinan penambangannya.
Tak pelak, naiknya pamor komoditas ini ikut menghidupkan daerah- daerah yang punya potensi batu bara besar. Dua provinsi yang bisa disebut tengah menikmati bonanza batu bara adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tak percaya? Sesekali sebaiknya Anda mengunjungi hotel-hotel utama di kota-kota di dua provinsi tersebut yang di wilayahnya banyak terdapat tambang batu bara, niscaya Anda akan mendengar pembicaraan yang hangat dan riuh soal emas hitam itu.
Paling gampang, coba sesekali sempatkan nongkrong di kafe atau lobi Hotel Banjarmasin International (HBI) di Jl. Jend. Ahmad Yani, Banjarmasin, Kal-Sel. “Seperti lantai bursa saja,†komentar H. Imam Abror Has, pemilik PT AAAM yang bergerak di bisnis batu bara. Di hotel itu, dari pagi hingga pukul 12 malam selalu ada saja orang-orang yang tengah bertransaksi batu bara. Wartawan SWA Eddy Dwinanto Iskandar, yang juga sempat menginap di HBI belum lama ini, mengaku merasakan hawa gairah bisnis batu bara di kota ini.
Memang, mereka yang bertransaksi tak semuanya pemilik konsesi tambang. Bahkan, kebanyakan para pedagang (trader) atau broker batu bara. Sampai-sampai sebagian pelaku bisnis batu bara sering memelesetkan hotel ini menjadi “Hotel Broker Internationalâ€Â. Pokoknya, kalau mengunjungi hotel itu, kata-kata seperti high calorie, stock pile, hauling, crushing, mine site, sulphur rate, koordinat, GPS, hingga kuasa penambangan, akan jamak terdengar.
Ada yang datang ke hotel sekadar membawa map dan sebungkus rokok, tapi ada juga yang datang dengan membawa tentengan plastik berisi sampel bongkahan-bongkahan batu bara. Rata-rata yang datang berpakaian kasual. Mereka datang dengan mengendarai mobil yang ground clearance-nya tinggi, seperti Toyota Hilux, Isuzu D-Max, Toyota LandCruiser atau Mitsubishi Strada.
Ternyata, berdasarkan pengamatan SWA, euforia bisnis batu bara seperti itu tak hanya tampak di HBI, tapi juga di hotel-hotel besar lain di Banjarmasin seperti Hotel Victoria, Hotel Arum dan Eva Guest House. Biasanya HBI lebih banyak dipakai untuk sosialisasi, sementara transaksi dilakukan di hotel lain.
Solihin, seorang trader batu bara yang erat bergaul dengan para pemilik tambang, menjelaskan bahwa pemilik tambang biasanya memilih Eva Guest House atau Hotel Arum lantaran lebih tenang dan untuk menjaga citra. “Pemilik tambang sebagian kan pak haji, nggak enak kalau ke HBI, yang penuh ingar-bingar diskotek dan karaoke,†ujarnya santai. Di Kal-Sel, selain di Banjarmasin, kita juga bisa melihat gairah bisnis batu bara di beberapa kota lain, seperti Kintab, Batu Licin, Banjar, Tanah Laut dan Tabalong. Di Batu Licin, misalnya, denyut bisnis batu bara benar-benar amat terasa, meski kabarnya juga banyak dikendalikan “mafiaâ€Â. “Wah kalau di sana, banyak pak haji yang kaya raya, yang pakai sarung tapi punya banyak mobil mewah. Bahkan, banyak yang punya mobil Jaguar. Ada juga yang pakai Roll Royce, Mas,” ujar seorang pengusaha muda asal Jakarta yang tak mau disebut namanya, yang juga memiliki konsesi tambang batu bara seluas lebih dari10 ribu hektare di Kal-Sel.
Di Kal-Tim, kondisinya setali tiga uang. Sesekali sempatkan Anda nongkrong di hotel-hotel besar di Samarinda dan Balikpapan. Di sana, tema diskusi yang banyak terdengar di berbagai resto dan lobi hotel tak jauh pula dari soal batu bara. Sebenarnya, hal ini mudah diamati ketika sampai di Bandara Sepinggan, Balikpapan. “Di sudut-sudut ruang Bandara, hal biasa kalau ada 2-3 orang terlibat diskusi serius dengan menggelar dan mengerubungi peta tambang,” ujar Agung, chief geologist sebuah perusahaan besar di Jakarta yang kini juga mulai masuk ke bisnis batu bara. Di Kal-Tim, kota/kabupaten yang banyak menyedot investasi batu bara ialah Kutai Kertanegara, Berau, Pasir, Penajam dan Kutai Timur.
Belakangan ini kalangan investor baru memang lebih memilih investasi ke Kal-Tim ketimbang Kal-Sel. Alasannya, di Kal-Sel, pemainnya sudah terlalu ramai. Faktor sosialnya pun semakin kompleks dan lebih sulit dikendalikan ketimbang di Kal-Tim. Selain itu, rata-rata kualitas dan tingkat kalori batu bara di Kal-Tim juga lebih bagus ketimbang di Kal-Sel. Batu bara di Kal-Tim punya kandungan kalori yang tinggi.
Betapapun, makin maraknya bisnis batu bara jelas menjadi berkah tersendiri buat masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Apalagi setelah adanya era otonomi daerah, setidaknya bisa menjadi pos pendapatan baru yang bisa menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Contohnya saja, dalam kasus PT Kaltim Prima Coal (KPC). Sejak otonomi daerah diresmikan, kabarnya 80% pendapatan (dari royalti dan pajak pendapatan) KPC masuk ke kas pemda. Pemda mendapat penghasilan US$ 300 ribu lebih per hari — dari 13,5% royalti terhadap nilai jual batu bara dan 35% pajak pendapatan — dari produksi harian yang mencapai di atas 50 ribu ton kubik batu bara kualitas tinggi. Tak aneh, awalnya pemerintah pusat sempat tidak rela karena pendapatan yang demikian besar masuk ke kas pemda.
Di Kabupaten Balangan, Kal-Sel, tempat PT Adaro beroperasi, juga demikian. Kabupaten ini pun mendapat berkah dari batu bara. Tahun 2005 (hingga Oktober), Kab. Balangan telah menerima royalti batu bara sebesar Rp 15,7 miliar. Uang itu sama dengan 13,5% dari dana yang disetor Adaro ke pemerintah pusat. Itu saja Pemda masih mengusahakan agar persentase pengembalian ke daerah lebih besar.
Lain lagi di Berau, Kal-Tim, yang banyak pula terdapat perusahaan tambang batu bara, termasuk PT Berau Coal. Nah, di kabupaten ini sekarang sektor batu bara hampir mengalahkan sektor pertanian, dilihat kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi sektor pertanian 22,59%, sedangkan batu bara 20,33%. Artinya, sektor batu bara benar-benar telah menjadi andalan baru. PDRB Berau saat ini di atas Rp 220 miliar/tahun. Di lain tempat, Kutai Kertanegara juga menjadi salah satu kabupaten paling kaya se-Indonesia, hingga bisa membangun berbagai proyek mercusuar berkat topangan industri batu bara.
Di Kabupaten Banjar, Kal-Sel, kontribusi komoditas batu bara pun amat berperan. Seperti dikatakan Gusti Khairul Saleh, Bupati Kab. Banjar, berkat hasil bumi, termasuk batu bara, pihaknya kini dapat menggratiskan beberapa layanan di daerah. Antara lain, biaya pengobatan di puskesmas, biaya pendidikan SD dan SMP dengan ditunjang pula oleh dana Bantuan Operasional Sekolah serta, sejak 1 Juli 2006, biaya pengurusan KTP dan Kartu Keluarga bagi seluruh warga. Selain itu, mulai Agustus 2006 untuk setiap warga Kab. Banjar yang meninggal, tidak pandang status ekonominya, keluarganya akan mendapat santunan Rp 500 ribu. Sementara untuk biaya pendidikan, akan dialokasikan Rp 8 miliar/tahun.
Sejak menjabat sebagai bupati Agustus 2005, Gusti, putra Tabalong kelahiran 5 Januari 1964, berniat meningkatkan PAD Kab. Banjar, dari Rp 12 miliar menjadi Rp 28 miliar. Caranya? “Saya kumpulkan sekitar 20 pemilik KP (Kuasa Penambangan) di wilayah Kabupaten Banjar. Di hadapan mereka, saya ceritakan kondisi PAD kami,†ujarnya. Di hadapan para pengusaha batu bara itu, Gusti menguraikan minimnya kontribusi perusahaan batu bara yang hanya Rp 2 miliar/tahun. Sementara permasalahan yang ditanganinya justru meningkat, menyangkut polusi debu, jalanan berlubang, dan sebagainya. “Saya memohon dengan ikhlas sumbangan dari pengusaha sebesar Rp 2.000 per ton batu bara yang diproduksi. Saya estimasi, dari 7,5 juta ton batu bara yang dihasilkan dari wilayah Kabupaten Banjar per tahun maka didapat Rp 15 miliar/tahun. Dan ditambah dengan Dana Alokasi Umum serta dana-dana dari pemerintah pusat lainnya, akan didapat dana total Rp 28 miliar,†katanya panjang lebar.
Tentu saja, yang digambarkan tadi baru manfaat yang tampak secara formal. Kenyataannya, bisnis batu bara juga memunculkan sektor informal dan bahkan ilegal. Bukan rahasia lagi, di sana banyak pengusaha kaya yang sebenarnya tidak punya KP, tapi tetap menambang. Mereka punya setidaknya 20-30 truk pengangkut. Bahkan, ada yang memiliki ratusan truk. Mereka juga pengusaha kaya meski tidak melakukan usahanya sesuai dengan prosedur legal, sehingga sering disebut penambang tanpa ijin (peti).
Hanya saja, kalau melihat duduk persoalannya, munculnya peti ini mungkin wujud dari protes orang daerah terhadap pemerintah pusat. Pasalnya, di zaman Orde Baru, begitu alasan yang diberikan para pengusaha yang disebut peti itu, lahan dengan potensi batu bara di daerah mereka tiba-tiba dikapling oleh pemerintah pusat dan diberikan ke pengusaha di Jakarta yang dekat dengan kekuasaan. Banyak dari mereka yang terpaksa gigit jari, padahal kekayaan alam berharga itu ada di “halaman rumah†mereka sendiri. Tak mengherankan, menambang tanpa izin sering menjadi solusi pintas bagi mereka. Tanpa itu, mereka merasa tak akan pernah menikmati konsesi karena tak dekat dengan pusat kekuasaan dan tak punya uang untuk menyuap. Yang pasti, perputaran ekonomi batu bara yang dituding tak resmi (underground economy) ini diperkirakan juga sangat besar. Seorang praktisi menyebutkan, angkanya bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Ini memang angka perkiraan saja.
Toh, harus diakui, lantaran peti tak beroperasi secara legal dan sulit dikontrol, potensi perusakan lingkungannya juga lebih besar. Apalagi, rata-rata mereka tak punya program untuk reklamasi atau penghutanan kembali lahan. Ini berbeda dari perusahaan tambang besar dan modern yang biasanya telah menyiapkan pengembangan lingkungannya. Hal ini pun diakui Gusti selaku kepala daerah di Kab. Banjar. Menurutnya, sebagian wilayahnya memang rusak akibat penambangan liar. Namun sejak setahun lalu, penambang liar yang menggunakan alat berat nyaris tak tersisa. Kini yang ada hanyalah penambang liar tradisional yang mengambil batu bara menggunakan gancu (semacam linggis). “Tidak bisa dimungkiri, sebagian wilayah kami rusak akibat penambang liar yang tidak bertanggung jawab. Akan kami benahi,†ujarnya tegas.
Namun, diakui Sukardi, Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kal-Sel, bukan soal mudah menindak penambang liar. Ia mengaku pihaknya sering menegur atau memarahi pelaku, tapi tidak bisa menindak. “Istilahnya, mau motong rumput tidak punya pisau. Mau ikut membenahi bagaimana, wong kami tidak punya kewenangan,†ujarnya. Masalah lain, menurut Sukardi, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten, tapi tidak dibarengi penyiapan sumber daya manusia. Akibatnya sekarang, bisa dibilang penambangan di daerah kacau-balau. “Ya, kami tidak diberi parang sih untuk membereskannya,†katanya lagi. Ia mengungkapkan, semua pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang eksis, pada 2001 ke atas menjadi kewenangan pusat untuk menegur, sedangkan pemilik KP menjadi kewenangan bupati.
Ke depan, bisnis batu bara nampaknya masih terus menggeliat di Tanah Air. Sejauh ini wilayah yang dieksploitasi baru Kal-Tim dan Kal-Sel. Padahal, para ahli geologi berpendapat, di Indonesia masih banyak potensi batu bara, baik di Sumatera maupun Papua. Di Sumatera, misalnya, wilayah Riau, Begkulu dan Sumatera Barat kabarnya juga menyimpan miliaran metrik ton batu bara. Hanya saja, sejauh ini belum dieksplorasi karena wilayahnya termasuk sulit dijangkau transportasi. Di Papua, kondisinya juga demikian. Kandungan emas hitam di Bumi Cendrawasih itu diperhitungkan amat besar.
Bahkan, di Tanah Borneo, kabarnya potensi Kalimantan Tengah tak kalah dari Kal-Tim dan Kal-Sel. Para ahli menyebut kalorinya (kualitasnya) malah lebih tinggi. Sejauh ini tambang di Kal-Teng belum banyak digarap karena akses transportasinya lebih ke pedalaman. Namun, bila wilayah potensial batu bara di Kal-Teng dan di pulau-pulau selain Kalimantan sudah dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, diperkirakan bisnis batu bara makin ramai. Kota dan daerah yang bisa menikmati bonanza emas hitam pun bakal bertambah. Tinggal bagaimana pemerintah setempat bisa memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat.
Namun, ternyata yang melakukan hal tersebut bukan Agus seorang. Pertama menyaksikannya, ia sampai geleng-geleng. Tiap ia melakukan pertemuan, entah itu di lobi hotel atau di salah satu resto di hotel tersebut, selalu saja ada kelompok lain yang juga mendiskusikan bisnis batu bara atau tengah bertransaksi. Jelas terdengar, beberapa di antara mereka sedang mencari konsesi yang mau dijual atau mencari penambang lokal yang bersedia menjadi pemasok. Alhasil, seminggu di Banjarmasin belum membawa hasil memuaskan buat Agus. Sampai ia kembali ke Jakarta, tak ada satu deal pun yang pasti. Maklum, ia harus bersaing ketat dengan pembeli dan investor lain yang sangat antusias pula memburu tambang emas hitam ini.
Komoditas batu bara belakangan ini memang jadi buruan yang hot. Banyak sekali kelompok usaha besar di Tanah Air yang melirik dan tertarik mengembangkan bisnis emas hitam ini. Mereka kini berburu konsesi atau mitra pemilik konsesi yang bisa diajak eksplorasi bersama. Sementara para pemain lama yang sudah memiliki konsesi dan melakukan eksploitasi (menambang), belakangan makin agresif meningkatkan kapasitas produksinya dengan membuka lahan baru dan mendatangkan sejumlah peralatan berat baru. Maklum, harga batu bara di pasar internasional makin bagus, seiring dengan terus meningkatnya permintaan, khususnya dari India, Korea dan Cina. Tak mengherankan, saat ini transaksi di seputar bisnis batu bara makin riuh. Ada yang melakukan jual-beli, tapi banyak pula yang tawar-menawar konsesi/ perizinan penambangannya.
Tak pelak, naiknya pamor komoditas ini ikut menghidupkan daerah- daerah yang punya potensi batu bara besar. Dua provinsi yang bisa disebut tengah menikmati bonanza batu bara adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tak percaya? Sesekali sebaiknya Anda mengunjungi hotel-hotel utama di kota-kota di dua provinsi tersebut yang di wilayahnya banyak terdapat tambang batu bara, niscaya Anda akan mendengar pembicaraan yang hangat dan riuh soal emas hitam itu.
Paling gampang, coba sesekali sempatkan nongkrong di kafe atau lobi Hotel Banjarmasin International (HBI) di Jl. Jend. Ahmad Yani, Banjarmasin, Kal-Sel. “Seperti lantai bursa saja,†komentar H. Imam Abror Has, pemilik PT AAAM yang bergerak di bisnis batu bara. Di hotel itu, dari pagi hingga pukul 12 malam selalu ada saja orang-orang yang tengah bertransaksi batu bara. Wartawan SWA Eddy Dwinanto Iskandar, yang juga sempat menginap di HBI belum lama ini, mengaku merasakan hawa gairah bisnis batu bara di kota ini.
Memang, mereka yang bertransaksi tak semuanya pemilik konsesi tambang. Bahkan, kebanyakan para pedagang (trader) atau broker batu bara. Sampai-sampai sebagian pelaku bisnis batu bara sering memelesetkan hotel ini menjadi “Hotel Broker Internationalâ€Â. Pokoknya, kalau mengunjungi hotel itu, kata-kata seperti high calorie, stock pile, hauling, crushing, mine site, sulphur rate, koordinat, GPS, hingga kuasa penambangan, akan jamak terdengar.
Ada yang datang ke hotel sekadar membawa map dan sebungkus rokok, tapi ada juga yang datang dengan membawa tentengan plastik berisi sampel bongkahan-bongkahan batu bara. Rata-rata yang datang berpakaian kasual. Mereka datang dengan mengendarai mobil yang ground clearance-nya tinggi, seperti Toyota Hilux, Isuzu D-Max, Toyota LandCruiser atau Mitsubishi Strada.
Ternyata, berdasarkan pengamatan SWA, euforia bisnis batu bara seperti itu tak hanya tampak di HBI, tapi juga di hotel-hotel besar lain di Banjarmasin seperti Hotel Victoria, Hotel Arum dan Eva Guest House. Biasanya HBI lebih banyak dipakai untuk sosialisasi, sementara transaksi dilakukan di hotel lain.
Solihin, seorang trader batu bara yang erat bergaul dengan para pemilik tambang, menjelaskan bahwa pemilik tambang biasanya memilih Eva Guest House atau Hotel Arum lantaran lebih tenang dan untuk menjaga citra. “Pemilik tambang sebagian kan pak haji, nggak enak kalau ke HBI, yang penuh ingar-bingar diskotek dan karaoke,†ujarnya santai. Di Kal-Sel, selain di Banjarmasin, kita juga bisa melihat gairah bisnis batu bara di beberapa kota lain, seperti Kintab, Batu Licin, Banjar, Tanah Laut dan Tabalong. Di Batu Licin, misalnya, denyut bisnis batu bara benar-benar amat terasa, meski kabarnya juga banyak dikendalikan “mafiaâ€Â. “Wah kalau di sana, banyak pak haji yang kaya raya, yang pakai sarung tapi punya banyak mobil mewah. Bahkan, banyak yang punya mobil Jaguar. Ada juga yang pakai Roll Royce, Mas,” ujar seorang pengusaha muda asal Jakarta yang tak mau disebut namanya, yang juga memiliki konsesi tambang batu bara seluas lebih dari10 ribu hektare di Kal-Sel.
Di Kal-Tim, kondisinya setali tiga uang. Sesekali sempatkan Anda nongkrong di hotel-hotel besar di Samarinda dan Balikpapan. Di sana, tema diskusi yang banyak terdengar di berbagai resto dan lobi hotel tak jauh pula dari soal batu bara. Sebenarnya, hal ini mudah diamati ketika sampai di Bandara Sepinggan, Balikpapan. “Di sudut-sudut ruang Bandara, hal biasa kalau ada 2-3 orang terlibat diskusi serius dengan menggelar dan mengerubungi peta tambang,” ujar Agung, chief geologist sebuah perusahaan besar di Jakarta yang kini juga mulai masuk ke bisnis batu bara. Di Kal-Tim, kota/kabupaten yang banyak menyedot investasi batu bara ialah Kutai Kertanegara, Berau, Pasir, Penajam dan Kutai Timur.
Belakangan ini kalangan investor baru memang lebih memilih investasi ke Kal-Tim ketimbang Kal-Sel. Alasannya, di Kal-Sel, pemainnya sudah terlalu ramai. Faktor sosialnya pun semakin kompleks dan lebih sulit dikendalikan ketimbang di Kal-Tim. Selain itu, rata-rata kualitas dan tingkat kalori batu bara di Kal-Tim juga lebih bagus ketimbang di Kal-Sel. Batu bara di Kal-Tim punya kandungan kalori yang tinggi.
Betapapun, makin maraknya bisnis batu bara jelas menjadi berkah tersendiri buat masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Apalagi setelah adanya era otonomi daerah, setidaknya bisa menjadi pos pendapatan baru yang bisa menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Contohnya saja, dalam kasus PT Kaltim Prima Coal (KPC). Sejak otonomi daerah diresmikan, kabarnya 80% pendapatan (dari royalti dan pajak pendapatan) KPC masuk ke kas pemda. Pemda mendapat penghasilan US$ 300 ribu lebih per hari — dari 13,5% royalti terhadap nilai jual batu bara dan 35% pajak pendapatan — dari produksi harian yang mencapai di atas 50 ribu ton kubik batu bara kualitas tinggi. Tak aneh, awalnya pemerintah pusat sempat tidak rela karena pendapatan yang demikian besar masuk ke kas pemda.
Di Kabupaten Balangan, Kal-Sel, tempat PT Adaro beroperasi, juga demikian. Kabupaten ini pun mendapat berkah dari batu bara. Tahun 2005 (hingga Oktober), Kab. Balangan telah menerima royalti batu bara sebesar Rp 15,7 miliar. Uang itu sama dengan 13,5% dari dana yang disetor Adaro ke pemerintah pusat. Itu saja Pemda masih mengusahakan agar persentase pengembalian ke daerah lebih besar.
Lain lagi di Berau, Kal-Tim, yang banyak pula terdapat perusahaan tambang batu bara, termasuk PT Berau Coal. Nah, di kabupaten ini sekarang sektor batu bara hampir mengalahkan sektor pertanian, dilihat kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi sektor pertanian 22,59%, sedangkan batu bara 20,33%. Artinya, sektor batu bara benar-benar telah menjadi andalan baru. PDRB Berau saat ini di atas Rp 220 miliar/tahun. Di lain tempat, Kutai Kertanegara juga menjadi salah satu kabupaten paling kaya se-Indonesia, hingga bisa membangun berbagai proyek mercusuar berkat topangan industri batu bara.
Di Kabupaten Banjar, Kal-Sel, kontribusi komoditas batu bara pun amat berperan. Seperti dikatakan Gusti Khairul Saleh, Bupati Kab. Banjar, berkat hasil bumi, termasuk batu bara, pihaknya kini dapat menggratiskan beberapa layanan di daerah. Antara lain, biaya pengobatan di puskesmas, biaya pendidikan SD dan SMP dengan ditunjang pula oleh dana Bantuan Operasional Sekolah serta, sejak 1 Juli 2006, biaya pengurusan KTP dan Kartu Keluarga bagi seluruh warga. Selain itu, mulai Agustus 2006 untuk setiap warga Kab. Banjar yang meninggal, tidak pandang status ekonominya, keluarganya akan mendapat santunan Rp 500 ribu. Sementara untuk biaya pendidikan, akan dialokasikan Rp 8 miliar/tahun.
Sejak menjabat sebagai bupati Agustus 2005, Gusti, putra Tabalong kelahiran 5 Januari 1964, berniat meningkatkan PAD Kab. Banjar, dari Rp 12 miliar menjadi Rp 28 miliar. Caranya? “Saya kumpulkan sekitar 20 pemilik KP (Kuasa Penambangan) di wilayah Kabupaten Banjar. Di hadapan mereka, saya ceritakan kondisi PAD kami,†ujarnya. Di hadapan para pengusaha batu bara itu, Gusti menguraikan minimnya kontribusi perusahaan batu bara yang hanya Rp 2 miliar/tahun. Sementara permasalahan yang ditanganinya justru meningkat, menyangkut polusi debu, jalanan berlubang, dan sebagainya. “Saya memohon dengan ikhlas sumbangan dari pengusaha sebesar Rp 2.000 per ton batu bara yang diproduksi. Saya estimasi, dari 7,5 juta ton batu bara yang dihasilkan dari wilayah Kabupaten Banjar per tahun maka didapat Rp 15 miliar/tahun. Dan ditambah dengan Dana Alokasi Umum serta dana-dana dari pemerintah pusat lainnya, akan didapat dana total Rp 28 miliar,†katanya panjang lebar.
Tentu saja, yang digambarkan tadi baru manfaat yang tampak secara formal. Kenyataannya, bisnis batu bara juga memunculkan sektor informal dan bahkan ilegal. Bukan rahasia lagi, di sana banyak pengusaha kaya yang sebenarnya tidak punya KP, tapi tetap menambang. Mereka punya setidaknya 20-30 truk pengangkut. Bahkan, ada yang memiliki ratusan truk. Mereka juga pengusaha kaya meski tidak melakukan usahanya sesuai dengan prosedur legal, sehingga sering disebut penambang tanpa ijin (peti).
Hanya saja, kalau melihat duduk persoalannya, munculnya peti ini mungkin wujud dari protes orang daerah terhadap pemerintah pusat. Pasalnya, di zaman Orde Baru, begitu alasan yang diberikan para pengusaha yang disebut peti itu, lahan dengan potensi batu bara di daerah mereka tiba-tiba dikapling oleh pemerintah pusat dan diberikan ke pengusaha di Jakarta yang dekat dengan kekuasaan. Banyak dari mereka yang terpaksa gigit jari, padahal kekayaan alam berharga itu ada di “halaman rumah†mereka sendiri. Tak mengherankan, menambang tanpa izin sering menjadi solusi pintas bagi mereka. Tanpa itu, mereka merasa tak akan pernah menikmati konsesi karena tak dekat dengan pusat kekuasaan dan tak punya uang untuk menyuap. Yang pasti, perputaran ekonomi batu bara yang dituding tak resmi (underground economy) ini diperkirakan juga sangat besar. Seorang praktisi menyebutkan, angkanya bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun. Ini memang angka perkiraan saja.
Toh, harus diakui, lantaran peti tak beroperasi secara legal dan sulit dikontrol, potensi perusakan lingkungannya juga lebih besar. Apalagi, rata-rata mereka tak punya program untuk reklamasi atau penghutanan kembali lahan. Ini berbeda dari perusahaan tambang besar dan modern yang biasanya telah menyiapkan pengembangan lingkungannya. Hal ini pun diakui Gusti selaku kepala daerah di Kab. Banjar. Menurutnya, sebagian wilayahnya memang rusak akibat penambangan liar. Namun sejak setahun lalu, penambang liar yang menggunakan alat berat nyaris tak tersisa. Kini yang ada hanyalah penambang liar tradisional yang mengambil batu bara menggunakan gancu (semacam linggis). “Tidak bisa dimungkiri, sebagian wilayah kami rusak akibat penambang liar yang tidak bertanggung jawab. Akan kami benahi,†ujarnya tegas.
Namun, diakui Sukardi, Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kal-Sel, bukan soal mudah menindak penambang liar. Ia mengaku pihaknya sering menegur atau memarahi pelaku, tapi tidak bisa menindak. “Istilahnya, mau motong rumput tidak punya pisau. Mau ikut membenahi bagaimana, wong kami tidak punya kewenangan,†ujarnya. Masalah lain, menurut Sukardi, pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten, tapi tidak dibarengi penyiapan sumber daya manusia. Akibatnya sekarang, bisa dibilang penambangan di daerah kacau-balau. “Ya, kami tidak diberi parang sih untuk membereskannya,†katanya lagi. Ia mengungkapkan, semua pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang eksis, pada 2001 ke atas menjadi kewenangan pusat untuk menegur, sedangkan pemilik KP menjadi kewenangan bupati.
Ke depan, bisnis batu bara nampaknya masih terus menggeliat di Tanah Air. Sejauh ini wilayah yang dieksploitasi baru Kal-Tim dan Kal-Sel. Padahal, para ahli geologi berpendapat, di Indonesia masih banyak potensi batu bara, baik di Sumatera maupun Papua. Di Sumatera, misalnya, wilayah Riau, Begkulu dan Sumatera Barat kabarnya juga menyimpan miliaran metrik ton batu bara. Hanya saja, sejauh ini belum dieksplorasi karena wilayahnya termasuk sulit dijangkau transportasi. Di Papua, kondisinya juga demikian. Kandungan emas hitam di Bumi Cendrawasih itu diperhitungkan amat besar.
Bahkan, di Tanah Borneo, kabarnya potensi Kalimantan Tengah tak kalah dari Kal-Tim dan Kal-Sel. Para ahli menyebut kalorinya (kualitasnya) malah lebih tinggi. Sejauh ini tambang di Kal-Teng belum banyak digarap karena akses transportasinya lebih ke pedalaman. Namun, bila wilayah potensial batu bara di Kal-Teng dan di pulau-pulau selain Kalimantan sudah dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai, diperkirakan bisnis batu bara makin ramai. Kota dan daerah yang bisa menikmati bonanza emas hitam pun bakal bertambah. Tinggal bagaimana pemerintah setempat bisa memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat.
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<
SAYA MAS JOKO WIDODO DI SURABAYA.
DEMI ALLAH INI CERITA YANG BENAR BENAR TERJADI(ASLI)BUKAN REKAYASA!!!
HANYA DENGAN MENPROMOSIKAN WETSITE KIYAI KANJENG DIMAS DI INTERNET SAYA BARU MERASA LEGAH KARNA BERKAT BANTUAN BELIU HUTANG PIUTAN SAYA YANG RATUSAN JUTA SUDAH LUNAS SEMUA PADAHAL DULUHNYA SAYA SUDAH KE TIPU 5 KALI OLEH DUKUN YANG TIDAK BERTANGUNG JAWAB HUTANG SAYA DI MANA MANA KARNA HARUS MENBAYAR MAHAR YANG TIADA HENTINGNYA YANG INILAH YANG ITULAH'TAPI AKU TIDAK PUTUS ASA DALAM HATI KECILKU TIDAK MUNKIN SEMUA DUKUN DI INTERNET PALSU AHIRNYA KU TEMUKAN NOMOR KIYAI KANJENG DI INTERNET AKU MENDAFTAR JADI SANTRI DENGAN MENBAYAR SHAKAT YANG DI MINTA ALHASIL CUMA DENGAN WAKTU 2 HARI SAJA AKU SUDAH MENDAPATKAN APA YANG KU HARAPKAN SERIUS INI KISAH NYATA DARI SAYA.....
…TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA AKI KANJENG…
**** BELIAU MELAYANI SEPERTI: ***
1.PESUGIHAN INSTANT 10 MILYAR
2.UANG KEMBALI PECAHAN 100rb DAN 50rb
3.JUAL TUYUL MEMEK / JUAL MUSUH
4.ANGKA TOGEL GHOIB.DLL..
…=>AKI KANJENG<=…
>>>085-320-279-333<<<