Liku-Liku Bisnis Batu Bara
Seperti bisnis pertambangan umumnya, berkecimpung di bisnis batu bara bisa dibilang gampang-gampang – susah. Dikatakan gampang karena proses penambangan batu bara memang sederhana. Hanya menggali, mengeruk, lalu mengumpulkan dan menjualnya. Akan tetapi, proses penambangan yang kedengarannya mudah itu menjadi susah, manakala pemilik usaha penambangan tak peduli lingkungan sekitarnya. Bisa juga, usaha penambangan yang sedang berjalan harus berhenti lantaran dinilai tidak feasible. Bahkan, ada yang tiba-tiba diganggu tangan-tangan jahil penambang liar di wilayah konsesi. Akibatnya, proses penambangan berjalan tersendat-sendat.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Soedjoko Tirtosoekotjo, ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam menjalankan bisnis batu bara. Pertama, memperoleh konsesi dengan mengajukan izin penyelidikan umum, eksplorasi hingga eksploitasi. Untuk konsesi dibagi menjadi dua kategori, yaitu Kontrak Karya (KK) untuk area konsesi 100 ribu hektare dan Kuasa Penambangan (KP) dengan area konsesi 10 ribu ha. KP diperuntukkan bagi warga negara Indonesia. Izinnya pun dikeluarkan bupati setempat kalau wilayah itu masih berada dalam satu kabupaten.
Namun, bila area konsesi berada di perbatasan antara dua kabupaten, izin konsesi berasal dari gubernur. Sementara itu, bila area yang dimaksud ternyata berada di perbatasan dua provinsi, izinnya akan dikeluarkan Dirjen Pertambangan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Kendati demikian, dalam praktiknya bisa saja berbeda. Soedjoko mencontohkan, kadang terjadi wilayah konsesi berada di perbatasan antara dua kabupaten. Izin yang seharusnya keluar dari gubernur, dalam kenyataannya bisa dimintakan dari dua kabupaten yang bersinggungan.
Bila area yang berpotensi itu sudah diketahui dengan pasti, pengusaha bisa mengajukan KP. Biasanya ada pengusaha yang tidak mau repot. Pemburu KP yang termasuk kategori ini akan langsung mengincar wilayah pinggiran konsesi KK yang sudah eksis. Soedjoko menyayangkan, beberapa tahap yang menjadi persyaratan umum pertambangan saat ini bisa dengan gampang dilalui dalam waktu singkat. Bahkan, kabarnya cukup mengeluarkan dana Rp 300-500 juta untuk area konsesi seluas 10 ribu ha.
Menurut Soedjoko, saat ini tak mudah lagi mendapatkan area konsesi yang potensial di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mengingat di kedua wilayah itu sudah terlalu banyak pemain yang beroperasi. Kalaupun ada, nilai kalori batu baranya tergolong rendah. Di luar KK dan KP, konsultan pertambangan Andre Alis menambahkan, ada pula penguasaan pertambangan yang dilakukan koperasi unit desa (KUD). Hanya saja, dikatakan Andre, untuk pola KUD makin sedikit pemainnya.
Masih berhubungan dengan konsesi, Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Simon Fellix Sembiring mengeluhkan pemberlakuan otonomi daerah terhadap sektor pertambangan batu bara. Menurutnya, sebelum diberlakukan otonomi daerah, semua perizinan diurus di pusat. Bila sudah beres di pusat, barulah diserahkan ke daerah. Simon menilai, cara yang sekarang — perizinan diserahkan ke daerah — memberi celah negatif. Pertama, kabupaten-kabupaten di daerah penghasil batu bara, seperti di Kal-Sel dan Kal-Tim, sangat mengandalkan Pendapatan Asli Daerah sehingga izinnya sekalian saja dijual.
Kedua, izin atau kontrak yang sebelumnya telah ada kadang tidak dipedulikan. “Kadang, pemohon izin KP diberi izin di lahan yang sudah ada pemegang hak penambangan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara),” katanya mengungkap fakta yang terjadi di daerah. Permasalahan ketiga, munculnya penambang aspal — asli tapi palsu. Dikatakannya, penambang jenis ini minta izin menambang di satu tempat, tapi justru yang ditambang di tempat lain. Karena itu, Simon berkesimpulan, 50% produksi batu bara di Kal-Sel adalah hasil penambangan liar.
Mengurus perizinan, diakui Direktur Pemasaran PT Bumi Resources Tbk. Iman Arif, memang sulit. “Selama ini kami mengacu pada PKP2B dari pemerintah pusat,†katanya. Ia mencontohkan, Arutmin memiliki izin mengeksplorasi batu bara berdasarkan PKP2B hingga 2019 dengan luas area 70.153,25 ha di Kal-Sel. Namun, dalam pelaksanaannya, meskipun Arutmin sudah punya izin seperti yang tertuang dalam PKP2B, terkadang sering terjadi tumpang tindih lahan dengan penambang lain yang memperoleh izin dari bupati setempat lewat izin KP ataupun penambang ilegal.
Di samping masalah perizinan yang lumayan berbelit-belit, untuk sampai pada tahap eksplorasi pun dibutuhkan waktu tahunan. Andre menjelaskan, setelah tahap penyelidikan umum (menemukan tanda-tanda adanya kandungan batu bara di suatu wilayah), dilanjutkan dengan tahap sebelum studi kelayakan. “Tahapan ini yang menentukan apakah pengusaha akan melanjutkan proyeknya atau tidak. Yang menjadi pertimbangan, antara lain, biaya operasi, harga jual, dan segala hal yang menyangkut pertimbangan ekonomis,†ujarnya. Setelah itu, baru bisa dihitung ongkos kasarnya dan dibuat model ekonominya. “Dari situ kami bisa lihat apakah akan menguntungkan atau tidak.â€Â
Tahap selanjutnya adalah pencarian data (eksplorasi). Tahapan ini bertujuan menemukan data yang lebih terinci sehingga bisa menemukan bentuk tiga dimensi dari model batu baranya. Tahapan ini cukup lama, membutuhkan waktu 1-2 tahun. “Model tiga dimensi membantu kami merencanakan penambangan. Kami jadi tahu penyebarannya, panjang, lebar, serta kedalamannya,†kata pria yang sudah malang-melintang di industri batu bara sejak 1988 ini.
Bila tahap eksplorasi memuaskan, barulah masuk ke tahapan studi kelayakan. Di sini, ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan hidup. Bila hasilnya feasible, berarti proyek dilanjutkan, Namun jika tidak, proyek dengan sendirinya dihentikan. “Habislah semua uang yang ditanamkan hingga ke tahap eksplorasi,” ujar Andre mengomentari bila proyek yang dijalankan ternyata dinilai tidak feasible.
Apakah lahan tambang yang diincar mengandung batu bara yang baik atau tidak, menurut Andre, bisa diketahui melalui GPS. Cara sederhana untuk mengetahuinya, dengan melihat singkapan batu bara yang ditemukan. Yang dimaksud singkapan adalah batu bara yang tersingkap dari dalam lapisan tanah karena proses erosi sungai. “Biasanya kami diberi kesempatan oleh Dinas Pertambangan dengan menggunakan surat izin peninjauan,†katanya. Sayangnya, ia melanjutkan, dengan metode ini masih belum dapat diketahui pola tiga dimensi batu baranya.
Bila di kemudian hari ternyata ada pengusaha tambang yang jeblok setelah jauh melangkah, Andre menilai hal itu lantaran ada perhitungan yang tidak pas ketika memulainya. Bahkan, ia berani mengatakan, dari tahap penyelidikan umum hingga studi kelayakan adalah masa-masa gambling. Padahal, selama tahapan itu berlangsung, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Sekadar gambaran, untuk lahan seluas 40 ribu ha, kemudian setelah studi kelayakan diciutkan menjadi 20 ribu ha dengan kondisi geologi cukup rumit, perusahaan bisa mengeluarkan investasi hingga US$ 10 juta. “Itu belum termasuk biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur dan peralatan tambang,†katanya menambahkan.
Mengingat tingkat risiko dan kesulitan yang dihadapi hingga tahap studi kelayakan, sebagian pengusaha memilih cara kedua, yakni joint venture dengan pemilik konsesi yang sudah ada. “Bisa dengan membentuk perusahaan baru atau investasi modal,” kata Soedjoko menimpali. Cara lainnya, bisa ditempuh dengan mengakuisisi perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi, seperti dilakukan perusahaan pertambangan Thailand, Banpu, yang membeli 6 perusahaan tambang di Indonesia dengan total senilai US$ 80 juta. Tentu saja, nilai jual perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi dan produksi jauh lebih mahal daripada masih berupa KK atau KP eksplorasi.
Langkah akuisisi inilah yang dipilih Bumi Resources ketika masuk ke bisnis pertambangan. Menurut Iman, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika akan mengakuisisi perusahaan pertambangan. Hitung-hitungannya dimulai dari proses due diligence, baik secara fisik maupun nilai buku. Seperti saat membeli PT Kaltim Prima Coal, hingga keluar angka US$ 500 juta, komponen perhitungannya adalah nilai buku, cadangan batu bara yang terkandung di dalamnya, tingkat risiko dan harga pasar batu bara (market value). Umpamanya, di lahan perusahaan yang akan dibeli ada cadangan 100 juta ton batu bara, lalu dilihat lagi kualitas batu baranya seperti apa. Kemudian, tinggal dikalikan saja dengan market value ditambah forecast value untuk 10 tahun mendatang. Selain itu, perlu juga dihitung royalty fee untuk pemerintah berupa pajak sebesar 13,5% dari omset serta fee untuk kegiatan sosial (social cost).
Untuk menentukan hal tersebut, lanjut Iman, Bumi akan melakukan penelitian yang mendalam sebelum mengakusisi perusahaan yang diincarnya itu. “Kami juga harus mencari second opinion dari pihak asing yang menjadi investor di Bumi. Kira-kira, perusahaan yang akan diakuisisi itu feasible atau nggak,†ungkap Iman menjelaskan. Investasi untuk praktik pertambangan yang baik dengan produksi batu bara sebanyak 2 juta ton/tahun diperkirakan US$ 200 juta. Nilai itu juga tergantung pada infrastruktur yang dibangun. “Masih bisa lebih murah bila bekerja sama dengan kontraktor pertambangan karena prasarana produksi bisa di-outsource,†tuturnya.
Selama ini, Bumi memilih mengakuisi perusahaan yang telah beroperasi karena sudah kelihatan produktivitasnya. “Seperti ketika mengakuisisi Kaltim Prima Coal pada 2003 dari BP dan Rio Tinto, serta PT Arutmin Indonesia pada 2001 dari BHP Billiton,†kata Iman mencontohkan. Kecuali, untuk kasus pembelian konsesi Pendopo di Sumatera yang kini dimililiki Bumi, tapi lahannya belum digarap. Konsesi di Pendopo rencananya akan dikembangkan untuk batu bara cair. “Untuk Pendopo, kami tinggal gali dan bangun infrastrukturnya.â€Â
Selain melalui KK, KP, joint venture dan akuisisi, berbisnis batu bara juga bisa dilakukan dengan joint operation. Maksudnya, seperti dijelaskan Soedjoko, operasi penambangan akan diserahkan untuk dikelola perusahaan lain. Di lain pihak, pemilik konsesi mendapat margin dari tiap ton batu bara yang ditambang sesuai dengan kesepakatan. Pemodal yang mengoperasikan pertambangan jenis ini dikenal sebagai kontraktor pertambangan. Contoh joint operation di Indonesia adalah PT Adaro, yang memiliki empat perusahaan kontraktor yang menambang di konsesinya. Kendati demikian, biaya transportasi dan tanggung jawab sosial maupun lingkungan dipikul Adaro.
Untuk terlibat dalam bisnis batu bara, juga dimungkinkan dengan menjadi pedagang (trader), yang menghubungkan pihak pembeli dengan produsen. Persyaratannya, ada kepercayaan dari kedua belah pihak. Konvensi tahunan CoalTrans awal Juni lalu di Bali merupakan event penting bagi para pebisnis batu bara se-Asia, yang bukan hanya diikuti produsen, trader dan perusahaan kontraktor pertambangan, tapi juga pembeli. Konvensi ini diikuti 800-an peserta dari 33 negara.
Pembeli utama batu bara Indonesia selama ini adalah perusahaan pembangkit listrik di Asia Pasifik, terutama Jepang, Hong Kong dan Taiwan. Berbicara mengenai prospek batu bara di Indonesia, Djoko menilai, masih menjanjikan. “Jumlah pemegang kontrak karya di Indonesia baru 78 perusahaan, yang sudah produksi 28 perusahaan, 50 lainnya belum berproduksi. Saya dengar 6 perusahaan sudah masuk tahap produksi,†ujarnya. Dengan adanya rencana PLN memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik, peluang industri ini di masa depan makin bersinar. “Demand-nya masih tinggi, apalagi kebutuhan energi juga tidak bakal surut,†ujar Djoko tandas.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Soedjoko Tirtosoekotjo, ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam menjalankan bisnis batu bara. Pertama, memperoleh konsesi dengan mengajukan izin penyelidikan umum, eksplorasi hingga eksploitasi. Untuk konsesi dibagi menjadi dua kategori, yaitu Kontrak Karya (KK) untuk area konsesi 100 ribu hektare dan Kuasa Penambangan (KP) dengan area konsesi 10 ribu ha. KP diperuntukkan bagi warga negara Indonesia. Izinnya pun dikeluarkan bupati setempat kalau wilayah itu masih berada dalam satu kabupaten.
Namun, bila area konsesi berada di perbatasan antara dua kabupaten, izin konsesi berasal dari gubernur. Sementara itu, bila area yang dimaksud ternyata berada di perbatasan dua provinsi, izinnya akan dikeluarkan Dirjen Pertambangan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Kendati demikian, dalam praktiknya bisa saja berbeda. Soedjoko mencontohkan, kadang terjadi wilayah konsesi berada di perbatasan antara dua kabupaten. Izin yang seharusnya keluar dari gubernur, dalam kenyataannya bisa dimintakan dari dua kabupaten yang bersinggungan.
Bila area yang berpotensi itu sudah diketahui dengan pasti, pengusaha bisa mengajukan KP. Biasanya ada pengusaha yang tidak mau repot. Pemburu KP yang termasuk kategori ini akan langsung mengincar wilayah pinggiran konsesi KK yang sudah eksis. Soedjoko menyayangkan, beberapa tahap yang menjadi persyaratan umum pertambangan saat ini bisa dengan gampang dilalui dalam waktu singkat. Bahkan, kabarnya cukup mengeluarkan dana Rp 300-500 juta untuk area konsesi seluas 10 ribu ha.
Menurut Soedjoko, saat ini tak mudah lagi mendapatkan area konsesi yang potensial di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur mengingat di kedua wilayah itu sudah terlalu banyak pemain yang beroperasi. Kalaupun ada, nilai kalori batu baranya tergolong rendah. Di luar KK dan KP, konsultan pertambangan Andre Alis menambahkan, ada pula penguasaan pertambangan yang dilakukan koperasi unit desa (KUD). Hanya saja, dikatakan Andre, untuk pola KUD makin sedikit pemainnya.
Masih berhubungan dengan konsesi, Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Simon Fellix Sembiring mengeluhkan pemberlakuan otonomi daerah terhadap sektor pertambangan batu bara. Menurutnya, sebelum diberlakukan otonomi daerah, semua perizinan diurus di pusat. Bila sudah beres di pusat, barulah diserahkan ke daerah. Simon menilai, cara yang sekarang — perizinan diserahkan ke daerah — memberi celah negatif. Pertama, kabupaten-kabupaten di daerah penghasil batu bara, seperti di Kal-Sel dan Kal-Tim, sangat mengandalkan Pendapatan Asli Daerah sehingga izinnya sekalian saja dijual.
Kedua, izin atau kontrak yang sebelumnya telah ada kadang tidak dipedulikan. “Kadang, pemohon izin KP diberi izin di lahan yang sudah ada pemegang hak penambangan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara),” katanya mengungkap fakta yang terjadi di daerah. Permasalahan ketiga, munculnya penambang aspal — asli tapi palsu. Dikatakannya, penambang jenis ini minta izin menambang di satu tempat, tapi justru yang ditambang di tempat lain. Karena itu, Simon berkesimpulan, 50% produksi batu bara di Kal-Sel adalah hasil penambangan liar.
Mengurus perizinan, diakui Direktur Pemasaran PT Bumi Resources Tbk. Iman Arif, memang sulit. “Selama ini kami mengacu pada PKP2B dari pemerintah pusat,†katanya. Ia mencontohkan, Arutmin memiliki izin mengeksplorasi batu bara berdasarkan PKP2B hingga 2019 dengan luas area 70.153,25 ha di Kal-Sel. Namun, dalam pelaksanaannya, meskipun Arutmin sudah punya izin seperti yang tertuang dalam PKP2B, terkadang sering terjadi tumpang tindih lahan dengan penambang lain yang memperoleh izin dari bupati setempat lewat izin KP ataupun penambang ilegal.
Di samping masalah perizinan yang lumayan berbelit-belit, untuk sampai pada tahap eksplorasi pun dibutuhkan waktu tahunan. Andre menjelaskan, setelah tahap penyelidikan umum (menemukan tanda-tanda adanya kandungan batu bara di suatu wilayah), dilanjutkan dengan tahap sebelum studi kelayakan. “Tahapan ini yang menentukan apakah pengusaha akan melanjutkan proyeknya atau tidak. Yang menjadi pertimbangan, antara lain, biaya operasi, harga jual, dan segala hal yang menyangkut pertimbangan ekonomis,†ujarnya. Setelah itu, baru bisa dihitung ongkos kasarnya dan dibuat model ekonominya. “Dari situ kami bisa lihat apakah akan menguntungkan atau tidak.â€Â
Tahap selanjutnya adalah pencarian data (eksplorasi). Tahapan ini bertujuan menemukan data yang lebih terinci sehingga bisa menemukan bentuk tiga dimensi dari model batu baranya. Tahapan ini cukup lama, membutuhkan waktu 1-2 tahun. “Model tiga dimensi membantu kami merencanakan penambangan. Kami jadi tahu penyebarannya, panjang, lebar, serta kedalamannya,†kata pria yang sudah malang-melintang di industri batu bara sejak 1988 ini.
Bila tahap eksplorasi memuaskan, barulah masuk ke tahapan studi kelayakan. Di sini, ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu kelayakan teknis, ekonomis dan lingkungan hidup. Bila hasilnya feasible, berarti proyek dilanjutkan, Namun jika tidak, proyek dengan sendirinya dihentikan. “Habislah semua uang yang ditanamkan hingga ke tahap eksplorasi,” ujar Andre mengomentari bila proyek yang dijalankan ternyata dinilai tidak feasible.
Apakah lahan tambang yang diincar mengandung batu bara yang baik atau tidak, menurut Andre, bisa diketahui melalui GPS. Cara sederhana untuk mengetahuinya, dengan melihat singkapan batu bara yang ditemukan. Yang dimaksud singkapan adalah batu bara yang tersingkap dari dalam lapisan tanah karena proses erosi sungai. “Biasanya kami diberi kesempatan oleh Dinas Pertambangan dengan menggunakan surat izin peninjauan,†katanya. Sayangnya, ia melanjutkan, dengan metode ini masih belum dapat diketahui pola tiga dimensi batu baranya.
Bila di kemudian hari ternyata ada pengusaha tambang yang jeblok setelah jauh melangkah, Andre menilai hal itu lantaran ada perhitungan yang tidak pas ketika memulainya. Bahkan, ia berani mengatakan, dari tahap penyelidikan umum hingga studi kelayakan adalah masa-masa gambling. Padahal, selama tahapan itu berlangsung, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Sekadar gambaran, untuk lahan seluas 40 ribu ha, kemudian setelah studi kelayakan diciutkan menjadi 20 ribu ha dengan kondisi geologi cukup rumit, perusahaan bisa mengeluarkan investasi hingga US$ 10 juta. “Itu belum termasuk biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur dan peralatan tambang,†katanya menambahkan.
Mengingat tingkat risiko dan kesulitan yang dihadapi hingga tahap studi kelayakan, sebagian pengusaha memilih cara kedua, yakni joint venture dengan pemilik konsesi yang sudah ada. “Bisa dengan membentuk perusahaan baru atau investasi modal,” kata Soedjoko menimpali. Cara lainnya, bisa ditempuh dengan mengakuisisi perusahaan pertambangan yang sudah beroperasi, seperti dilakukan perusahaan pertambangan Thailand, Banpu, yang membeli 6 perusahaan tambang di Indonesia dengan total senilai US$ 80 juta. Tentu saja, nilai jual perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi dan produksi jauh lebih mahal daripada masih berupa KK atau KP eksplorasi.
Langkah akuisisi inilah yang dipilih Bumi Resources ketika masuk ke bisnis pertambangan. Menurut Iman, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika akan mengakuisisi perusahaan pertambangan. Hitung-hitungannya dimulai dari proses due diligence, baik secara fisik maupun nilai buku. Seperti saat membeli PT Kaltim Prima Coal, hingga keluar angka US$ 500 juta, komponen perhitungannya adalah nilai buku, cadangan batu bara yang terkandung di dalamnya, tingkat risiko dan harga pasar batu bara (market value). Umpamanya, di lahan perusahaan yang akan dibeli ada cadangan 100 juta ton batu bara, lalu dilihat lagi kualitas batu baranya seperti apa. Kemudian, tinggal dikalikan saja dengan market value ditambah forecast value untuk 10 tahun mendatang. Selain itu, perlu juga dihitung royalty fee untuk pemerintah berupa pajak sebesar 13,5% dari omset serta fee untuk kegiatan sosial (social cost).
Untuk menentukan hal tersebut, lanjut Iman, Bumi akan melakukan penelitian yang mendalam sebelum mengakusisi perusahaan yang diincarnya itu. “Kami juga harus mencari second opinion dari pihak asing yang menjadi investor di Bumi. Kira-kira, perusahaan yang akan diakuisisi itu feasible atau nggak,†ungkap Iman menjelaskan. Investasi untuk praktik pertambangan yang baik dengan produksi batu bara sebanyak 2 juta ton/tahun diperkirakan US$ 200 juta. Nilai itu juga tergantung pada infrastruktur yang dibangun. “Masih bisa lebih murah bila bekerja sama dengan kontraktor pertambangan karena prasarana produksi bisa di-outsource,†tuturnya.
Selama ini, Bumi memilih mengakuisi perusahaan yang telah beroperasi karena sudah kelihatan produktivitasnya. “Seperti ketika mengakuisisi Kaltim Prima Coal pada 2003 dari BP dan Rio Tinto, serta PT Arutmin Indonesia pada 2001 dari BHP Billiton,†kata Iman mencontohkan. Kecuali, untuk kasus pembelian konsesi Pendopo di Sumatera yang kini dimililiki Bumi, tapi lahannya belum digarap. Konsesi di Pendopo rencananya akan dikembangkan untuk batu bara cair. “Untuk Pendopo, kami tinggal gali dan bangun infrastrukturnya.â€Â
Selain melalui KK, KP, joint venture dan akuisisi, berbisnis batu bara juga bisa dilakukan dengan joint operation. Maksudnya, seperti dijelaskan Soedjoko, operasi penambangan akan diserahkan untuk dikelola perusahaan lain. Di lain pihak, pemilik konsesi mendapat margin dari tiap ton batu bara yang ditambang sesuai dengan kesepakatan. Pemodal yang mengoperasikan pertambangan jenis ini dikenal sebagai kontraktor pertambangan. Contoh joint operation di Indonesia adalah PT Adaro, yang memiliki empat perusahaan kontraktor yang menambang di konsesinya. Kendati demikian, biaya transportasi dan tanggung jawab sosial maupun lingkungan dipikul Adaro.
Untuk terlibat dalam bisnis batu bara, juga dimungkinkan dengan menjadi pedagang (trader), yang menghubungkan pihak pembeli dengan produsen. Persyaratannya, ada kepercayaan dari kedua belah pihak. Konvensi tahunan CoalTrans awal Juni lalu di Bali merupakan event penting bagi para pebisnis batu bara se-Asia, yang bukan hanya diikuti produsen, trader dan perusahaan kontraktor pertambangan, tapi juga pembeli. Konvensi ini diikuti 800-an peserta dari 33 negara.
Pembeli utama batu bara Indonesia selama ini adalah perusahaan pembangkit listrik di Asia Pasifik, terutama Jepang, Hong Kong dan Taiwan. Berbicara mengenai prospek batu bara di Indonesia, Djoko menilai, masih menjanjikan. “Jumlah pemegang kontrak karya di Indonesia baru 78 perusahaan, yang sudah produksi 28 perusahaan, 50 lainnya belum berproduksi. Saya dengar 6 perusahaan sudah masuk tahap produksi,†ujarnya. Dengan adanya rencana PLN memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik, peluang industri ini di masa depan makin bersinar. “Demand-nya masih tinggi, apalagi kebutuhan energi juga tidak bakal surut,†ujar Djoko tandas.